Monday 30 April 2012

In the Heat of the Night

Resensi Film: In the Heat of the Night (9.0/10)

Tahun Keluar: 1967
Negara Asal: USA
Sutradara: Norman Jewison
Cast: Sidney Poitier, Rod Steiger, Warren Oates, Lee Grant

Plot: Kasus pembunuhan seorang industrialis di kota kecil Sparta, Mississippi yang rasis menyeret seorang detektif kulit hitam dari Philadelphia menjadi pemimpin dalam penyelidikan tersebut (IMDb).

Ras adalah topik yang tidak mudah ditangani dalam film, terlebih lagi untuk film ini karena film ini dibuat pada jaman dimana ras tidak didiskusikan dalam film. Jaman sekarang berbeda, kita sering melihat ras didiskusikan dalam film, sebuah topik yang hangat dimana para filmmaker senang mencobanya. Namun demikian, bahkan di jaman sekarang-pun, topik ini tetap memberi tantangan (dan bahkan menciptakan masalah) bagi para filmmaker. Contohnya, coba lihat film Crash (2004), sebuah film dimana ras harus nampak secara gamblang, dimana setiap orangnya adalah rasis, dan agar penonton memahami isyu racism, penonton harus digelontor dengan karakter-2 dan skenario yang dibuat-2. Sebaliknya, dalam film ini, walaupun ras adalah topik utama, filmnya tidak pernah "menghantam" penonton "over the head" dengan ras. Bagaimana film dengan ras sebagai topik utama berhasil menempatkan ras ke latar belakang dengan sedemikian suksesnya? Jawabannya sederhana. Sutradara Norman Jewison memahami bahwa ras ada dimana-2, dan di segala waktu -- bahkan jika ditempatkan di latar belakang! Sangat mengagumkan konstruksi arahan dan script dalam film ini: ketika penonton asyik mengikuti misteri pembunuhan yang terjadi dan terbenam dalam penyelidikan yang berlangsung, kemudian dengan secara tiba-2 berubah menjadi rasis. Misalnya, di akhir film, ketika Virgil Tibbs dan Bill Gillespie berpisah di stasiun kereta api, penonton merasakan ada pengertian di antara mereka berdua, kemudian dengan secara tiba-2, tanpa disangka-2, Gillespie mengucapkan komen rasis kepada Tibbs. Dalam film ini ras selalu hadir dan mempunyai pesan penting tentang hal tersebut, tetapi tidak pernah "menghantam" penonton "over the head", sebaliknya membiarkan penonton melihat bahwa racism adalah salah satu aspek dalam kehidupan. Tidak dapat disangkal, film ini juga bertumpu pada kemampuan akting Sidney Poitier dan Rod Steiger. Memang betul, keduanya memerankan karakter-2 yang ekstrem: Steiger mewakili humanity paling buruk, sedang Poitier mewakili humanity paling baik. Tetapi, penampilan mereka berubah menjadi spesial justru ketika mereka bergerak menuju ke "tengah". Tibbs tidak selalu sempurna dan baik -- suatu kali dia mengakui bahwa dia mengejar seorang tertuduh bukan karena alasan hukum tetapi karena alasan pribadi. Sedang Gillespie, beberapa kali punya momen dimana dia bergerak menuju respectability dan kindness, dimana sikap rasisnya hilang digantikan dengan sikap humane-nya. Walaupun keduanya tidak pernah tinggal di "tengah", tetapi "middle ground" tersebut selalu ada di sana. Ini membuat penonton dapat mengidentifikasi diri mereka tidak sebagai salah satu dari karakter-2 tersebut, tetapi sebagai orang -- yaitu, orang yang dapat buruk, dapat baik, atau segalanya yang ada di antaranya. Di antara semua film tentang ras, In the Heat of the Night adalah salah satu dari yang terbaik ... if not, the best!

* 9.0/10


In the Heat of the Night dapat anda temukan di eBay.com

Friday 20 April 2012

The Motorcycle Diaries

Resensi Film: The Motorcycle Diaries (Diarios de motocicleta) (8.5/10)

Tahun Keluar: 2004
Negara Asal: Argentina, USA, Chile, Peru, Brazil, UK, Germany, France
Sutradara: Walter Salles
Cast: Gael García Bernal, Rodrigo de la Serna

Plot: Catatan perjalanan Ernesto 'Che' Guevara dan temannya, Alberto Granado, ketika mereka berpetualang mengelilingi benua Amerika Latin (IMDb).

Penulis mula-2 tidak mengetahui siapa Ernesto 'Che' Guevara ini, selain mengenalnya dari potret atau gambar wajahnya di banyak T-shirt yang dikenakan oleh anak-2 muda di negara-2 Barat. Baru setelah itu, penulis mengetahui bahwa 'Che' Guevara adalah tokoh revolusi di benua Amerika Latin, khususnya berperan dalam revolusi di Cuba. Oooh, ... makanya, 'Che' Guevara adalah idola anak-2 muda, simbol dari "hero" atau "pemberontak" -- pemberontakan terhadap sistem yang ada, pemberontakan terhadap orangtua mereka, pemberontakan terhadap segala sesuatu yang mengekang atau membatasi dirinya. 'Che' Guevara adalah anak muda, seorang idealis, dan sebagai anak muda yang menginjak dewasa, dia mempunyai panggilan untuk berperan dalam hidup ini -- dia mempunyai ide bagaimana dia dapat menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk memperbaiki hidup dirinya dan hidup sesamanya.

Berbeda dari sebagian film critic yang tidak menyukai film ini (di antaranya adalah Roger Ebert) karena film ini tidak menceritakan sisi politik dari 'Che', penulis justru sebaliknya -- menyukai film ini justru karena film ini tidak menceritakan sisi politik dari 'Che'. Mirip seperti cerita Chanel sebelum dia memasuki masa kejayaannya dalam film Coco avant Chanel (2009), adaptasi dari catatan perjalanan yang ditulis oleh 'Che' ini menceritakan 'Che' ketika dia muda belia -- berusia 23 tahun, satu semester sebelum dia lulus menjadi dokter, totally non-political, yang sama seperti anak-2 muda yang lain, hanya bertujuan untuk mencari kesenangan dan petualangan ketika dia dan temannya, Alberto -- juga seorang dokter muda, memutuskan untuk mengelilingi benua Amerika Latin dengan sebuah sepeda motor tua. Berasal dari keluarga kaya, 'Che' sama sekali tidak menyangka perjalanan tersebut bakal mengubah dirinya.

Aktor Meksiko, Gael García Bernal, dengan penampilannya yang dreamy memainkan perannya sebagai 'Che' dengan penuh kharisma: perasa, poetic, sensitive, dan kadang-2 foolish karena usianya yang masih muda sehingga kurang berpengalaman dalam "seni" menjalani hidup. Sedang aktor Argentina, Rodrigo de la Serna, dengan sangat baik melengkapi penampilan Bernal tersebut sebagai teman perjalanan yang lebih tua dan lebih berpengalaman. Istilahnya, keduanya saling melengkapi satu sama lain. Sejak awal penulis sudah waswas apakah sepeda motor tua tersebut, yang dijuluki La Poderosa (The Mighty One), mampu membawa mereka dari rumah mereka di Argentina ke 8,000 kilometer mengelilingi benua Amerika Latin? Dalam perjalanan tersebut, La Poderosa yang tua dan setia ini pernah kecebur masuk ke dalam sungai, pernah tergelincir di jalan bersalju, pernah nabrak sapi, ... sampai akhirnya menemui ajalnya di Chile. Sementara itu, 'Che' pernah jatuh cinta dengan seorang cewek, pernah hampir dikeroyok orang sekampung gara-2 "main mata" dengan istri orang (beruntung dia berhasil meloloskan diri), sedang Alberto yang lebih berpengalaman justru jarang mendapatkan cewek karena cewek lebih menyukai 'Che' yang dreamy. Dengan kematian La Poderosa, rute dan tempo perjalanan mereka berubah total! Tidak dapat bergerak secara bebas dan cepat lagi, ditambah dengan masalah kehabisan uang, mau tidak mau mereka harus meneruskan perjalanan secara primitive, yaitu hitchhike (cari tumpangan gratis dari penduduk lokal), atau kalau gak ketemu tumpangan ya jalan kaki (!), dan cari teman baru agar dapat makan gratis :-) Persahabatan antara 'Che' dan Alberto mengalami ujian berat: mereka berbeda pendapat, mereka bertengkar, tetapi persahabatan tidak pernah putus. Pertemuan dengan penduduk lokal di setiap tempat yang mereka singgahi ternyata adalah eye-opening experience (pengalaman yang membuka mata) untuk 'Che' dan Alberto: di suatu tempat di pegunungan Andes mereka bertemu dengan seorang petani yang kehilangan tanahnya karena perlakuan tidak adil dari pemerintah setempat; di tempat yang lain di tengah padang gurun Atacama mereka bertemu dengan sepasang suami-istri yang terlunta-2 setelah diusir dari rumahnya karena mereka adalah komunis; di tempat yang lain lagi mereka menyaksikan bagaimana perusahaan pertambangan mengeksploitasi para buruh tambang. Eye-opening experience ini diakhiri dengan mereka mengunjungi leper colony (kompleks penderita kusta) di daerah Amazon, Peru, dimana mereka dapat menyumbangkan keahlian mereka sebagai dokter. Setelah menyelesaikan perjalanan mereka di tujuan akhir di Caracas, Venezuela, 'Che' adalah orang yang berbeda dari orang yang dia kenal sebelum dia melakukan perjalanan tersebut.

Sutradara Brazil, Walter Salles, dengan sangat baik menghidupkan kembali perjalanan 'Che' dan Alberto tersebut -- melibatkan lebih dari 30 lokasi di Amerika Latin, menggunakan rute yang sama seperti yang dilalui oleh 'Che' dan Alberto, menampilkan kontras dari masing-2 lokasi tersebut, dan menggunakan aktor-2 non-professional untuk orang-2 yang ditemui dalam perjalanan tersebut. Dibantu dengan penempatan kamera yang membuat penonton seakan-2 "ikut" atau "masuk" dalam perjalanan tersebut, cinematography yang menangkap keindahan alam Amerika Latin, dan musical score yang menyiratkan budaya benua ini, film ini mempunyai nilai authenticity yang tinggi yang sangat mengesankan. Selain cerita tentang persahabatan -- penampilan Bernal dan de la Serna berhasil mencerminkan kedalaman persahabatan tersebut, film ini juga cerita tentang menemukan jati diri.

Keabsenan politik dalam film ini justru mencerminkan authenticity dari kepingan sejarah tentang tokoh revolusioner abad ke 20 yang mungkin paling illusive ini -- membuat penonton semakin ingin tahu: "So, ... terus bagaimana perjalanan 'Che' sampai akhirnya dia terlibat langsung dalam revolusi?"

Film ini adalah film untuk anak muda dan mereka yang berjiwa muda.

* 8.5/10

The Motorcycle Diaries dapat anda temukan di eBay.com

Tuesday 17 April 2012

Gilda

Resensi Film: Gilda (8.5/10)

Tahun Keluar: 1946
Negara Asal: USA
Sutradara: Charles Vidor
Cast: Rita Hayworth, Glenn Ford, George Macready

Plot: Seorang boss casino high-class yang beroperasi secara illegal menemukan orang kepercayaannya mempunyai masa lalu dengan istri barunya (IMDb).

Bersetting di Buenos Aires, Argentina, sekitar Perang Dunia ke 2, Gilda adalah film noir yang dikemas sebagai detective story, tetapi sesungguhnya adalah love story. Johnny Farrell (Glenn Ford) adalah penjudi "profesional" yang suatu malam diselamatkan oleh seorang tidak dikenal ketika dia dirampok di pinggir jalan, seraya diberitahu bahwa ada casino high-class yang beroperasi secara illegal, tetapi diperingatkan tidak mempraktekkan "keahliannya" tersebut di casino itu. Mengabaikan peringatan tersebut, Johnny pergi ke casino itu, curang di meja blackjack, kemudian ditangkap dan diserahkan ke pemilik casino yang ternyata adalah orang yang sama yang menolongnya tempo hari, Ballin Mundson (George Macready). Merasa bangga berhasil mencuranginya, Johnny menawarkan diri untuk bekerja di casino itu dan secara cepat memperoleh kepercayaan dari boss-nya. Suatu hari, sepulang dari perjalanan bisnis, boss-nya memperkenalkan Johnny kepada istri barunya, Gilda (Rita Hayworth) ... ternyata Johnny dan Gilda adalah eks pasangan. Mula-2 tidak mengetahuinya, Mundson akhirnya mencium masa lalu tersebut dari sikap "benci" mereka setiap kali mereka bertemu. Anehnya, Mundson menugaskan Johnny untuk menjaga/mengawasi Gilda. Sementara hubungan "love-hate" antara Johnny dan Gilda memanas, urusan bisnis Mundson dengan organisasi kartel dari Jerman menemui jalan buntu. Menambah complicated situasi, polisi rahasia Argentina membututi Johnny untuk memperoleh informasi tentang organisasi kartel tersebut.

Okay, penulis dapat menilai film ini dari dua sisi. Pertama, cerita. Dari sisi cerita, kurang valid. Relasi antara Johnny dan boss-nya tidak pernah masuk akal -- apakah mungkin seorang boss merekrut orang yang mencuri darinya menjadi manajer untuk usahanya? bukankah dia semestinya sudah mempunyai manajer untuk usahanya tersebut? Mundson mengawini Gilda, yang ternyata adalah eks-nya Johnny -- ini adalah big coincidence yang terasa dibuat-2 ... only happens in the movies :-) Kemudian, Mundson menugaskan Johnny untuk "menjaga" atau "mengawasi" Gilda -- ini betul-2 laughable :-) ... seakan-2 hanyalah pretext saja (alasan saja) untuk melayani tujuan yang lain, yaitu melihat hubungan "love-hate" antara Johnny dan Gilda. Dan ... ya memang betul, THAT IS IT! Film ini walaupun bernuansa film noir/detective story, sesungguhnya adalah love story. Ada banyak "lubang" dalam ceritanya, terutama menuju akhir film, tetapi penulis tidak ingin membuka semua plot agar tidak merusak keinginan mereka yang belum pernah menonton film ini.

Kedua, produksi. Dari sisi produksi, kalau kita menerima film ini adalah film love story (tepatnya, femme fatale), sehingga segala sesuatu yang terjadi antara Johnny dan Gilda terasa make sense, betul-2 fantastik! Dibuat ketika Hollywood berada di bawah pengawasan MPPC (Motion Picture Production Code), yaitu badan yang melakukan moral censorship terhadap film-2 Hollywood dari tahun 1930 sampai tahun 1968, penulis betul-2 kagum melihat bagaimana sutradara Charles Vidor dan tim penulis script-nya berhasil memenuhi semua tuntutan MPPC dan tetap berhasil menyampaikan esensi dari cerita yang ada. Johnny dan Gilda bagaikan kutub utara dan kutub selatan yang berseberangan dan sekaligus saling tertarik. Hubungan "love-hate" tersebut dicerminkan dalam scene-2 yang highly sexual dan sensual, dan diisi dengan dialog-2 yang ... (oh my god) deliciously spiteful! :-) Penonton tahu, tinggal tunggu waktu saja sebelum mereka melampiaskan cintanya, sehebat mereka melampiaskan bencinya. Tetapi beruntung sekali ada MPPC :-) ... sehingga pelampiasan tersebut hanya terjadi sekali saja, dan itupun hanya 3 detik saja :-) Ada pepatah yang mengatakan: less is more, dan ini berlaku di sini. Walaupun Glenn Ford tampil hampir dalam setiap scene, Rita Hayworth adalah "jiwa" dalam film ini. Sementara Ford terasa kaku (ekspresi wajahnya jarang berubah sepanjang film), Hayworth betul-2 femme fatale yang believable -- ekspresi wajahnya komplit: dari gembira, kaget, kesal, sinis, manja, marah, sexy, frustrasi, sampai segalanya yang lain. Dia menyanyi (di-dubbed), menari, dan menggoda dengan passionate. Jack Cole adalah orang yang berjasa meng-koreografi Hayworth ketika dia menyanyi dan menari "Put the Blame on Mame" dan "Amado Mio". Sedang Charles Vidor betul-2 mengetahui dimana dia mesti meletakkan kamera untuk menangkap sisi terbaik Hayworth. Scene-2 dimana Hayworth mengibaskan rambutnya dari luar kamera masuk ke dalam kamera, entah sudah berapa kali diimitasi oleh filmmaker-2 yang lain. Penampilan Hayworth juga dibantu oleh kostum-2 elegan dan sexy dari Jean Louis. Dan secara keseluruhan, filmnya menerima cinematografi hitam-putih yang kaya dan indah dari Rudolph Mate.

Walaupun dari sisi cerita kurang valid, penulis lebih condong mengapresiasi film ini dari sisi produksinya, terutama bagaimana filmmaker pada jamannya berhasil melewati "halangan" dari MPPC.

* 8.5/10

Gilda dapat anda temukan di eBay.com

Thursday 12 April 2012

Coco avant Chanel

Resensi Film: Coco avant Chanel (Coco Before Chanel) (8.5/10)

Tahun Keluar: 2009
Negara Asal: France, Belgium
Sutradara: Anne Fontaine
Cast: Audrey Tautou, Benoît Poelvoorde, Alessandro Nivola, Marie Gillain

Plot: Biopic perancang busana Gabrielle 'Coco' Chanel sebelum dia memasuki masa kejayaannya (IMDb).

Kali ini penulis betul-2 tidak setuju dengan pendapat Margaret dan David yang memberi rating 3 dan 2.5 untuk film ini -- What? David!!! I thought I could trust your opinion :-) Penulis juga tidak setuju dengan pendapat-2 yang mengatakan topik Coco SEBELUM Chanel tidak menarik, tidak penting, atau tidak perlu, dengan alasan topik Coco SELAMA Chanel-lah yang lebih menarik, lebih penting, dan lebih perlu. Mengapa? Sebagian pengagum Coco Chanel ingin menyaksikan cerita yang spektakuler tentang dirinya -- seorang heroine yang melakukan heroism-nya dengan "big bang" (seperti Superman atau Spiderman menyelamatkan dunia dari orang jahat), tetapi justru inilah yang dihindari oleh sutradara Anne Fontaine. Sama dengan penulis, justru di sinilah letak keindahan film ini. Tidak ada yang glamourous atau spektakuler dari masa lalu Chanel (Audrey Tautou), seorang anak yatim yang setelah ibunya meninggal dunia, ayahnya menelantarkan dia dan saudaranya, Adrienne (Marie Gillain), di rumah yatim piatu. Dengan setting seperti Dickensian ini, Anne Fontaine tidak terpancing masuk ke dalam sentimentalisme. Nuansa film secara keseluruhan bahkan terkesan un-sentimental. Dalam hal ini penulis kagum bagaimana script yang ditulis oleh Fontaine sendiri (dkk.) telah menampilkan bakat kreativitas Chanel sejak dari awal film, tetapi bakat ini seakan-2 "melayang" tidak ada yang mempedulikan (termasuk penonton dan Chanel sendiri!). Secara halus/tanpa terasa, Fontaine sedikit demi sedikit meng-accentuate bakat ini, kemudian menjadi prominent secara tiba-2 ketika keadaan memaksa -- dan anehnya, penonton terpana, padahal penonton sudah mengetahui bakat tersebut sejak dari awal film. Scriptnya tidak pernah berusaha "menahan" atau "menyembunyikan" bakat Chanel ini dengan tujuan sebagai kejutan atau "big bang" yang memuaskan sentimen penonton.

Tumbuh dewasa praktis sendirian (bersama saudaranya), Chanel mempunyai ambisi untuk menjadi wanita terhormat dan mandiri. Dengan latar belakang sebagai yatim piatu, cita-2 tersebut bukanlah cita-2 yang mudah dicapai. Bekerja sebagai tukang jahit di siang hari dan penyanyi cafe di malam hari (dia mendapat julukan 'Coco' karena setiap malam dia menyanyikan lagu populer berjudul "Coco" - dari kata Perancis "cocotte" yang berarti wanita simpanan), Chanel tidak pernah putus asa mencari kesempatan untuk mencapai cita-2 tersebut. Tidak jauh dari isi lagu yang dia nyanyikan, dia menjadi wanita simpanan seorang pria terhormat, Étienne Balsan (Benoît Poelvoorde), dengan harapan suatu saat dia bakal dikawini secara resmi -- dia tahu bahwa harapan ini adalah harapan kosong. Balsan sedikit banyak mencerminkan sosok ayah yang tidak pernah hadir dalam hidup Chanel. Belum sepenuhnya lepas dari Balsan, Chanel menjadi wanita simpanan pria terhormat yang lain, Arthur 'Boy' Capel (Alessandro Nivola), yang usianya sepadan dengan dirinya, yang dia ternyata betul-2 mencintainya ... juga dengan harapan suatu saat dia bakal dikawini secara resmi -- dia lagi-2 tahu bahwa harapan ini adalah harapan kosong. Kematian Capel secara tiba-2 akhirnya menyadarkan Chanel bahwa dia tidak bisa bergantung pada orang lain. Kehormatan dan kemandirian yang dia idam-2kan hanya dapat dijamin kalau dia bergantung pada diri sendiri -- dan untuk Chanel, ini artinya melakukan apa yang dia lakukan dengan baik, yaitu menjahit, merancang busana!

Penulis kagum dengan scene-2 dimana Fontaine sedikit demi sedikit meng-accentuate bakat Chanel ini, mulai dari ketika Chanel tampil "blend-in" (nampak sama seperti) wanita-2 di sekitarnya, kemudian sedikit demi sedikit tampil "out-of-place" (nampak berbeda dari) wanita-2 di sekitarnya, karena dia mengenakan gaun rancangannya sendiri yang berbeda dari gaun pada jaman itu -- gaun rancangan Chanel pada dasarnya mencerminkan sifat atau cita-2 mandiri Chanel: sederhana, tidak menyusahkan wanita ketika mengenakannya, tetapi tetap elegan atau bahkan lebih elegan! Penulis particularly terkesan dengan scene terakhir, yaitu montage parade busana, sementara Chanel duduk termenung sendirian di anak tangga, sambil sekali-2 sinar matanya memancarkan rasa puas dan bahagia. Frame terakhir ketika film berubah warnanya menjadi hitam-putih dan wajah Audrey Tautou tampil mirip seperti wajah Chanel yang sesungguhnya betul-2 poignant, profoundly moving, touching. Bagaimana tidak, parade busana tersebut terjadi pada awal tahun 1900-an, tetapi rancangannya bagaikan rancangan dari tahun ini -- hati penulis langsung miris melihat ini.

Audrey Tautou memainkan perannya dengan sangat baik. Benoît Poelvoorde memainkan peran tidak simpatiknya juga dengan sangat baik (penonton percaya Chanel kecantol dengan pria seperti ini). Sayangnya, Alessandro Nivola rada mis-cast sebagai gentleman Inggris (penonton rada gak percaya Chanel betul-2 mencintai pria seperti ini :-)). Cinematography dari Christophe Beaucarne sangat indah. Musical score dari Alexandre Desplat menghanyutkan. Dan Costume Design dari Catherine Leterrier tentu saja elegan.

Pernahkah anda menyadari, kadang-2 apa yang anda lakukan dengan sangat baik justru anda kecilkan atau abaikan. Sekecil apapun bakat anda, pedulikan ... ada 'chanel' dalam diri setiap orang.

Salah satu rancangan Chanel yang paling terkenal adalah The Little Black Dress, gaun satu potong berwarna hitam, mengenakannya sangat mudah, tetapi super elegan. Muncul pada tahun 1920-an dan terus populer bahkan sampai saat ini. Rancangan ini menjadi immortal ketika dikenakan oleh Audrey Hepburn dalam filmnya, Breakfast at Tiffany's (1961).

* 8.5/10

Coco avant Chanel dapat anda temukan di eBay.com

Tuesday 10 April 2012

Great Expectations

Resensi Film: Great Expectations (8.5/10)

Tahun Keluar: 1946
Negara Asal: UK
Sutradara: David Lean
Cast: John Mills, Valerie Hobson, Bernard Miles, Francis L. Sullivan, Anthony Wager, Jean Simmons

Plot: Seorang anak laki-2 yatim piatu menerima bantuan keuangan dari seorang anonimus untuk dididik menjadi pria terhormat (gentleman) dengan masa depan cemerlang (great expectations) (IMDb).

Film arahan sutradara David Lean ini adalah adaptasi bebas dari novel klasik dengan judul yang sama karya Charles Dickens. Mereka yang sudah membaca novelnya akan menemukan beberapa perbedaan antara novel dan filmnya. Selain perbedaan beberapa karakter, script adaptasi film ini juga menghilangkan ambiguity di akhir cerita -- konon dengan maksud memuaskan tuntutan sentimental penonton (sementara mereka yang mengenal novelnya justru ambiguous dengan akhir cerita tersebut). Anyway, David Lean dkk. telah melakukan adaptasi dengan sangat baik -- sebaik mungkin yang dapat dilakukan oleh tim penulis script dari "memampatkan" 59 bab dalam novelnya menjadi hanya 3 babak saja dalam filmnya, dan tetap berhasil menjaga esensi dari cerita yang ada. Tidak ada penulis lain, selain Shakespeare tentunya, yang dapat menandingi Charles Dickens dalam menciptakan karakter-2 dengan nama yang aneh, dan karakterisasi yang aneh pula, sedemikian rupa sehingga melekat dalam ingatan pembaca. Walaupun Pip (John Mills/Anthony Wager -- Pip kecil) adalah tokoh utama dalam cerita ini, Pip hanyalah hero yang pasif, yang terseret menjadi "saksi" dalam rentetan peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Miss Havisham (Martita Hunt) adalah kekuatan utama dalam film ini: seorang wanita yang patah hati, yang memelihara patah hatinya dengan "mengabadikan" momen tersebut dan mendidik anak angkatnya, Estella (Valerie Hobson/Jean Simmons -- Estella kecil), dengan meracuni pikirannya untuk mematahkan setiap hati pria yang jatuh cinta dengannya. Walaupun sudah diperingatkan oleh temannya, Pip tidak dapat menolong dirinya, dia tetap saja jatuh cinta terhadap Estella. Mr. Magwitch (Finlay Currie) adalah kekuatan utama yang lain dalam film ini: seorang kriminal/buronan yang satu-2nya cara untuk menebus keburukan hidupnya adalah dengan menjadikan orang lain orang terhormat, yang mempunyai nasib berbeda dari dirinya, yang mempunyai masa depan cemerlang. David Lean selalu menggunakan visual yang dramatis untuk menciptakan atmosfir yang sepadan dengan cerita yang ada. Scene di kuburan ketika Mr. Magwitch mencengkeram Pip dari luar frame kamera entah sudah berapa kali diimitasi oleh film-2 horor yang lain. Dan satu scene yang menjadi trademark dari film ini: rumah megah yang gelap dan terlantar dengan penghuninya yang gila, jelas-2 mempengaruhi sutradara Billy Wilder dalam filmnya Sunset Boulevard yang dia buat 4 tahun kemudian. Sedikit kekecewaan dari penulis dari film ini adalah casting untuk Pip dewasa dan Estella dewasa. John Mills dan Valerie Hobson (ketika film ini dibuat berusia 38 tahun dan 29 tahun) terlalu tua memerankan Pip dan Estella yang berusia 20 tahunan dalam ceritanya. Untungnya, Anthony Wager sebagai Pip kecil dan Jean Simmons sebagai Estella kecil jauh lebih pas castingnya. Anyway ...

Cerita tentang revenge dan redemption yang dikemas dalam setting horor ini menjadikan film arahan David Lean ini klasik seketika.

* 8.5/10

Great Expectations dapat anda temukan di eBay.com

Thursday 5 April 2012

Ballad of a Soldier

Resensi Film: Ballad of a Soldier (Ballada o soldate) (9.5/10)

Tahun Keluar: 1959
Negara Asal: Soviet Union
Sutradara: Grigoriy Chukhray
Cast: Vladimir Ivashov, Zhanna Prokhorenko, Antonina Maksimova

Plot: Seorang prajurit muda, setelah melakukan tindakan heroik di medan pertempuran, memperoleh penghargaan cuti untuk pulang ke kampung halamannya sehingga dia bisa bertemu dengan ibunya dan memperbaiki atap rumahnya. Tetapi perjalanan pulang tersebut ternyata tidak mudah: dia bertemu dengan berbagai macam "halangan", sementara waktu cutinya semakin habis dan dia sendiri belum sampai ke rumahnya (IMDb).

Bersetting pada Perang Dunia ke 2 dan bertokoh seorang prajurit muda, Ballad of a Soldier bukanlah film perang, tetapi film yang bercerita tentang tiga macam cinta: eros (romans), storge (komitmen), dan agape (pengorbanan). Cinta romans antara pasangan muda, terjadi ketika tokoh utamanya, Alyosha (Vladimir Ivashov), bertemu dengan Shura (Zhanna Prokhorenko); cinta komitmen antara pasangan suami-istri; dan cinta pengorbanan ibu untuk anaknya. Penulis kagum dengan script dalam film ini, yang walaupun ceritanya sederhana, tetapi cara menyampaikannya memikat hati -- efeknya seperti menjadi anak kecil lagi yang dengan penuh antisipasi mendengarkan dongeng. Dengan script yang tanpa pretensi menyembunyikan kesederhanaan ceritanya, Ivashov yang saat itu berusia 20 tahun dan Prokhorenko, 19 tahun, memainkan perannya juga tanpa pretensi, betul-2 dengan dosis realitas yang pas. Tetapi pujian tertinggi mesti ditujukan ke sutradara Grigoriy Chukhray yang arahannya sedemikian poetic-nya -- efeknya seperti mimpi (dreamlike): pernahkah anda bermimpi anda harus pergi ke suatu tempat, tetapi tidak peduli apapun yang anda lakukan anda tidak pernah sampai ke tempat tersebut? Efeknya seperti ini. Literatur Rusia memang sarat dan terkenal dengan nuansa tragedi yang siap menerkam anda; dan arahan dari Chukhray dalam film ini persis sama menghasilkan efek seperti ini. Ada banyak adegan yang menghasilkan efek seperti ini: Alyosha ketinggalan kereta ketika dia mesti menunggu Vasya (prajurit invalid yang mengira istrinya sudah meninggalkan dirinya); Alyosha ketinggalan kereta lagi ketika dia mesti mengambilkan air untuk Shura; Alyosha kehilangan waktu lagi karena dia mesti menyampaikan pesan untuk keluarga Pavlov (prajurit yang dia temui dalam perjalanan pulang); Alyosha terburu-2 berpisah dengan Shura, dan dia lupa memberitahukan alamatnya ke Shura ... oh my god; jembatan keretanya hancur kena bom, padahal rumahnya hanya 10 km saja dari sana ... penulis sampai berteriak dalam hati, "Alyosha cepet pulang, lari, lari, lari ... run, Alyosha, run, run!!! ", tetapi dia tertahan di sana karena mesti membantu para penumpang yang lain ... oh my god! Tetapi adegan paling membekas adalah ketika Alyosha betul-2 sampai ke rumahnya, tetapi ibunya sedang bekerja di ladang, padahal waktu cutinya sudah habis dan dia mesti segera kembali ke markasnya. Arahan dari Chukhray ketika ibu dan anak akhirnya bertemu betul-2 luar biasa! Chukhray berhasil "menghentikan waktu" -- waktu seakan-2 berhenti, waktu yang hanya sekejap itu seakan-2 seperti eternity ... antara sekejap dan selamanya melebur menjadi satu.

Ballad of a Soldier adalah salah satu dari karya terbaik perfilman Rusia.

* 9.5/10

Ballad of a Soldier dapat anda temukan di eBay.com

Tuesday 3 April 2012

You Can't Take It with You

Resensi Film: You Can't Take It with You (8.0/10)

Tahun Keluar: 1938
Negara Asal: USA
Sutradara: Frank Capra
Cast: Jean Arthur, Lionel Barrymore, James Stewart, Edward Arnold

Plot: Seorang pria dari keluarga konservatif jatuh cinta dengan seorang wanita dari keluarga bohemian. Ketika dua keluarga yang berbeda bagaikan bumi dan langit ini bertemu, gaya hidup dan pandangan hidup bertabrakan secara frontal (IMDb).

Adaptasi dari teater pemenang penghargaan Pulitzer karya George S. Kaufman dan Moss Hart ini menunjukkan bagaimana tulisan yang baik dapat mengubah cerita yang biasa dan sederhana menjadi cerita yang menarik dan mempunyai kedalaman. Sama seperti film-2 arahan Frank Capra yang lainnya, You Can't Take It with You mengajak anda untuk mempertanyakan: Apa sich yang paling penting dalam hidup ini? Kalau kita meninggal dunia, kita tidak dapat membawa apa yang kita miliki di dunia ini bersama kita ... you can't take it with you! Hero dalam film ini adalah Martin Vanderhof (Lionel Barrymore). Orang bilang dia eksentrik, karena dia meninggalkan pekerjaannya yang mapan untuk hidup sesuai dengan panggilannya, yaitu melakukan apa yang membuat dia bahagia. Sama seperti dalam film-2 Capra yang lainnya, hero yang kecil dan lemah ini dihadapkan pada anti-hero yang besar dan kuat, Anthony P. Kirby (Edward Arnold), seorang industriawan dengan kekuasaan yang menjangkau mulai dari rumahnya sampai ke Gedung Putih. Tetapi Vanderhof tidak gentar sama sekali terhadap Kirby, karena dia sudah memegang "kunci" kehidupannya. Ketika cucunya, Alice (Jean Arthur), memberitahu bahwa dia jatuh cinta dengan Kirby Junior (James Stewart), dua keluarga yang berbeda bagaikan bumi dan langit ini bertemu ... kontan saja gaya hidup dan pandangan hidup bertabrakan secara frontal. Segala macam pertanyaan sederhana, and yet philosophical, keluar dari sarangnya: uang versus kebahagiaan, uang adalah segalanya, uang bukan segalanya. Apakah anda bersedia mengorbankan jati diri dan kebahagiaan anda demi menjadi "normal" -- "normal" itu apa; eksentrik -- "eksentrik" itu apa. Script-nya dengan pandai menghibur penonton dengan pertanyaan-2 tersebut. Empat tokoh utama dalam film ini memperoleh character development yang matang dan multi-faceted, sehingga mereka tampil believable dan riel. Lionel Barrymore tampil meyakinkan sebagai eksentrik yang normal (atau normal yang eksentrik?), dan Edward Arnold dengan sangat baik mengimbangi penampilan Barrymore tersebut. Jean Arthur dan James Stewart tampil believable sebagai pasangan muda yang terhimpit dalam situasi "gila" tersebut, padahal satu-2nya hal yang mereka pedulikan adalah cinta mereka. Sayangnya, tokoh-2 pendukung yang lainnya tidak memperoleh treatment yang sama, sehingga mereka nampak karikaturis atau parodis -- sehingga membuat film secara keseluruhan terkesan trying too hard to get the message across. Namun demikian, film ini adalah film drama komedi yang langka (menerima Oscar untuk Film Terbaik pada tahun 1939) yang akan membekas dalam ingatan anda jauh setelah anda selesai menontonnya.

Would you sacrifice your own happiness to become "normal"?

* 8.0/10

You Can't Take It with You dapat anda temukan di eBay.com