Tuesday 31 July 2012

Finding Nemo

Resensi Film: Finding Nemo (8.5/10)

Tahun Keluar: 2003
Negara Asal: Australia, USA
Sutradara: Andrew Stanton
Cast: Albert Brooks, Ellen DeGeneres, Alexander Gould

Plot: Setelah hilang tertangkap jaring di Great Barrier Reef, Queensland, seekor ayah (ikan badut) yang penakut terpaksa pergi berkelana ke seberang lautan untuk menemukan kembali anaknya (IMDb).

Ada pepatah yang mengatakan, “There is a child in all of us.

Sedang filsuf Friedrich Nietzsche mengatakan, “In every person a child is hidden that wants to play.

Well, Finding Nemo adalah film yang membuktikan betapa benarnya kata-2 pepatah tersebut. Studio Pixar dengan animasinya yang halus dan riel, dalam setiap frame-nya, berhasil menampilkan keindahan dan keajaiban alam di dalam laut – yaitu, Great Barrier Reef, ekosistem karang terbesar di dunia yang terletak di lepas pantai Queensland, Australia. Sedang script dari Andrew Stanton et al. dengan karakterisasinya yang subyektif dan sensitif berhasil membuat setiap karakter dalam film ini unik dan menarik untuk “ditemukan”. Ingatkah anda ketika anda masih kecil, ketika anda untuk pertama kalinya pergi ke sekolah, meninggalkan rumah dan orangtua anda? Penuh dengan antisipasi dan harapan, tetapi juga bercampur dengan kecemasan. Ketika anda akhirnya bertemu dengan teman-2 baru anda, reaksi anda adalah subyektif dan sensitif, misalnya: iiih, ada yang rambutnya keriting (kok ada ya rambut seperti itu?); yang ini hidungnya mancung banget (yang bener aja?!); yang itu mukanya tembem kayak kue terang bulan :-); yang di sana pitanya menyala kayak stabilo :-); yang di sini saputangannya persis kayak taplak meja :-); dan ketika gurunya muncul, warakadah ... tinggi besar kayak gendruwo :-) Setiap penemuan, tidak peduli sesederhana apapun, adalah penemuan baru! Inilah reaksi yang timbul dari script film ini -- setiap karakter, besar atau kecil, adalah penemuan baru. Tidak ada satu momen-pun, dari awal sampai akhir, yang tidak membuat anda takjub, terpesona terhadap apa yang anda lihat. Finding Nemo dengan sangat baik berhasil menemukan kembali dan membawa keluar “anak” dalam diri penonton, tidak peduli dia sudah dewasa atau masih anak-2.

Selain efek di atas, film ini mempunyai keunggulan yang lain, yaitu multi-layered storytelling atau penceritaan yang berlapis-2. Ada banyak film yang penampilan luarnya kompleks, tetapi isinya sesungguhnya dangkal; Finding Nemo justru sebaliknya. Dari luar, secara sepintas, ceritanya sederhana, yaitu ayah yang mencari anaknya yang hilang. Namun demikian, despite its outwardly simple facade, Finding Nemo adalah so much more – jauuuh lebih dari itu. Disuarakan oleh para aktor/aktres yang memahami bahwa bersuara-pun memerlukan penghayatan (selain tiga suara di atas, kita juga mendengarkan suara-2 berkarakter dari para aktor/aktres senior seperti Willem Dafoe sebagai Gill the Moorish Idol, Allison Janney sebagai Peach the Starfish :-), Geoffrey Rush (!) sebagai Nigel the Pelican :-), dan comedian Barry Humphries sebagai Bruce the Great White Shark ... whooo :-)), Finding Nemo adalah cerita tentang petualangan (dengan membawa penonton ke daerah eksotik di dalam laut yang tidak banyak kita kenal, sutradara/penulis Andrew Stanton betul-2 memahami kecintaan penonton untuk menemukan dan melihat sesuatu yang baru), cerita tentang persahabatan (antara Marlin dan Dory, antara Nemo dan teman-2nya di akuarium di Sydney), cerita tentang perjuangan hidup, cerita tentang proses menjadi dewasa, cerita tentang menemukan jati diri. Wow, di balik facade yang sederhana, anda dapat menemukan cerita yang berlapis-2!

Bersetting di dalam laut, Finding Nemo adalah metafora dari laut itu sendiri – permukaannya nampak datar dan sederhana, tetapi dalamnya ... so deep and full of creamy nuggets! Dan setelah selesai menonton film ini, para orangtua memahami anaknya lebih baik, dan para anak memahami orangtuanya lebih baik.

8.5/10

Finding Nemo dapat anda temukan di eBay.com

Wednesday 25 July 2012

Headhunters

Resensi Film: Headhunters (Hodejegerne) (7.8/10)

Tahun Keluar: 2011
Negara Asal: Norway, Germany
Sutradara: Morten Tyldum
Cast: Aksel Hennie, Nikolaj Coster-Waldau, Synnøve Macody Lund

Plot: Seorang headhunter*) dengan Napoleon-complex**) mempunyai kehidupan ganda sebagai pencuri benda-2 seni berharga untuk membiayai gaya hidupnya yang mewah untuk meng-impress istrinya (IMDb).

*) agen HR untuk top executive untuk perusahaan-2 besar
**) perasaan minder gara-2 tubuh yang pendek :-)

Jangan heran kalau beberapa tahun lagi Hollywood me-remake film ini. Roger Brown (Aksel Hennie) adalah seorang headhunter yang sukses. Namun demikian, dia mempunyai Napoleon-complex gara-2 tubuhnya yang pendek (168 cm – ini pendek untuk ukuran pria Norwegia :-)). Dia merasa perlu agar istrinya yang cantik dan tinggi, Diana (Synnøve Macody Lund), pemilik art gallery di Oslo, tidak meninggalkannya, dia meng-impress istrinya dengan gaya hidup yang mewah – padahal istrinya hanya menginginkan anak darinya. Penghasilan dari headhunter yang sukses tampaknya tidak cukup membiayai gaya hidup tersebut. Maka, dia mempunyai pekerjaan sambilan sebagai pencuri benda-2 seni berharga. Dalam melakukan kejahatan ini, Roger dibantu oleh seorang pegawai perusahaan security/alarm, Ove (Eivind Sander), yang akan mematikan alarm di TKP ketika dia beraksi. Selama ini dia selalu berhasil mencuri dan lolos, karena pemiliknya sering-2 bahkan tidak menyadari kalau barangnya telah dicuri (ditukar dengan yang palsu); atau kalau akhirnya menyadari, ini terjadi jauh setelah jejak pencurian tersebut hilang. Suatu hari istrinya memberitahu dia bahwa dia mempunyai client yang bernama Clas Greve (Nikolaj Coster-Waldau) yang menyimpan lukisan karya pelukis terkenal Rubens. Harganya dapat mencapai ratusan juta dollar! Kontan saja mata Roger berkunang-2 ... :-) Maka, dipersiapkanlah segala sesuatunya untuk mencuri lukisan tersebut. Pada hari H-nya, ketika Roger menyelinap masuk ke dalam rumah Clas, dia tidak hanya menemukan lukisan berharga tersebut, tetapi juga sesuatu yang menjungkir-balikkan hidupnya. Segera setelah itu segala sesuatunya berubah menjadi sinister dan serius. Clas yang dulunya juga "headhunter" dalam arti yang lain, yaitu anggota special force, ternyata mempunyai "permainan"-nya sendiri. Roger tidak menyangka dia menggigit mangsa yang lebih besar daripada yang bisa dia telan.

Melihat posternya, mempertimbangkan judulnya, penulis menyangka film ini adalah film tentang pembunuh bayaran, ternyata bukan. Walaupun alasan Roger menjadi pencuri cukup menggelikan (yet manusiawi), plotnya lumayan believable -- penulis sendiri sering berpikir, betapa mudahnya seorang pegawai perusahaan security/alarm, kalau dia memang mau, berkomplot atau ber-kongkalikong dengan seorang pencuri untuk melicinkan jalan baginya ketika dia beraksi. Semakin canggih, semakin computerized sistem keamanan sebuah rumah, semakin mudah membobolnya :-) Film ini mempunyai script yang ketat dan sutradara Morten Tyldum menyampaikannya dengan tempo yang tinggi. Sebelum penonton sempat menebak ke arah mana cerita kira-2 bergulir, plotnya bergerak ke arah yang tidak kita sangka. Script-nya mengkombinasikan antara elemen thriller, surprise, dan satu elemen lagi yang membuat film ini “berbeda”, yaitu komedi -- tepatnya, komedi tingkah laku manusia sebagai makhluk yang rasional, sekaligus irrasional :-) Hasilnya, penulis setuju dengan pendapat Roger Ebert, tidak seperti film-2 thriller yang lain yang sering-2 cuma mengandalkan energi kinetik saja: stunt (akrobatik), special effects, dan gerakan kamera yang eratik (uuuh, pusing melihatnya), perasaan tegang yang muncul di sini berasal dari plot yang terjadi. Tidak seperti film-2 thriller Hollywood yang sering-2 ‘kebacut’ (berlebihan) dalam “memelintir” plot, misalnya karakter-2 yang ketemon melakukan double-crossing, film ini membuat kita tidak putus asa karena di tengah situasi dimana kita tidak tahu siapa atau apa yang bisa dipercaya, paling tidak ada satu karakter yang bisa dipercaya :-) Dan alangkah indahnya bahwa satu karakter tersebut adalah istri yang cantik dan tinggi :-) Aneh bin ajaib, kebetulan atau disengaja (?), Hennie wajahnya mirip seperti Christopher Walken, Coster-Waldau mirip seperti Aaron Eckhart, dan Lund mirip seperti foto model Christie Brinkley – membuat film ini dalam sekejap mempunyai daya tarik international. Maka, kalau betul Hollywood nanti me-remake film ini, Tom Cruise yang tubuhnya pendek mungkin cocok memerankan Roger, Aaron Eckhart definitely cocok menjadi Clas, sedang Charlize Theron yang berambut pirang dan bertinggi badan mendekati 180 cm semestinya cocok menjadi Diana. Let’s wait and see ...

7.8/10

Headhunters dapat anda temukan di eBay.com

Saturday 21 July 2012

Lolita

Resensi Film: Lolita (8.5/10)

Tahun Keluar: 1962
Negara Asal: UK
Sutradara: Stanley Kubrick
Cast: James Mason, Shelley Winters, Sue Lyon, Peter Sellers

Plot: Seorang profesor berusia setengah baya jatuh cinta dengan seorang remaja berusia 14 tahun (IMDb).

Ada film-2 yang setiap kali kita menontonnya, kita memperoleh pemahaman tambahan/berbeda daripada ketika terakhir kali kita menontonnya. Film-2 karya Stanley Kubrick banyak yang seperti ini dan Lolita adalah salah satu di antaranya. Penulis sudah beberapa kali menonton film ini; dan setiap kali menontonnya, penulis memperoleh pemahaman tambahan/berbeda daripada ketika terakhir kali menontonnya -- seakan-2 ceritanya sedemikian luasnya sehingga selalu saja ada bagian-2 kecil yang luput dari perhatian atau pemahaman, atau kadang-2 terasa seperti parable yang menyembunyikan cerita sesungguhnya di balik facade yang kasat mata. Stanley Kubrick konon tidak dapat secara bebas mengadaptasi isi novel dengan judul yang sama karya Vladimir Nabokov ini ke dalam layar lebar karena batasan-2 censorship yang ketat saat itu. Mungkin gara-2 ini Kubrick mesti "berkelit" di balik facade yang dapat diterima oleh kode etik perfilman saat itu -- tidak ada adegan erotik, apalagi seks, dalam film ini, semuanya disampaikan secara implisit, namun demikian penonton menyadari sepenuhnya sifat hubungan antara profesor tersebut dan Lolita. Akibatnya, ada perbedaan cukup besar, dari segi plot dan karakterisasi, antara novelnya dan film ini. Despite all this, mungkin justru di sinilah letak keunggulan film ini -- membuatnya bertahan melawan waktu, karena penonton dapat selalu menemukan hal baru setiap kali menontonnya. Penulis belum pernah membaca novelnya, karena itu review ini hanya membahas filmnya saja -- sama sekali tidak ada perbandingan dengan novelnya.

Film drama serius yang dikemas dalam komedi gelap ini dibintangi oleh tiga bintang besar Hollywood pada jamannya, yaitu: James Mason, Shelley Winters, dan Peter Sellers, dan satu pendatang baru, Sue Lyon, yang memainkan 'title role' Lolita. Kesan pertama yang menggelitik dari film ini adalah nama-2 karakternya: 1) Profesor Humbert Humbert. Dengan jabatan profesor dan nama Humbert Humbert (seakan-2 satu Humbert saja tidak cukup :-)), penonton mencium ada sesuatu yang "tidak beres" dengan dirinya -- di balik eksterior yang terhormat, tersimpan interior yang sleazy, disreputable, tidak bermoral. 2) Charlotte dan Dolores Haze. Haze mempunyai arti kabut atau pikiran yang tidak jelas atau bingung. Charlotte adalah nama priyayi, sementara karakternya adalah wanita dari kelas bawah. Sedang Dolores adalah nama seorang wanita suci dari Spanyol -- gabungan Dolores + Haze menimbulkan kesan nama seorang prostitute. 3) Clare Quilty. Clare adalah nama wanita, sementara karakternya adalah pria, menimbulkan kesan foxy, serigala berbulu domba, tidak dapat dipercaya. Pertama kali menonton film ini, penulis menangkap kesan ini, tetapi baru menyadari sepenuhnya setelah beberapa kali menontonnya: nama-2 tersebut adalah summary atau ringkasan dari masing-2 karakternya! So spot on.

James Mason yang selalu tampil suave (smooth & sophisticated) adalah aktor yang tepat memainkan peran Humbert Humbert. Dengan censorship yang ketat saat itu, penampilan Mason berhasil menghindari kesan penonton secara frontal terhadap karakternya sebagai seorang fedofilia*) -- walaupun penonton menyadari sepenuhnya. Selanjutnya, di sepanjang film Mason berhasil menampilkan berbagai warna dari kepribadian karakternya: condescending -- memandang rendah orang dari kelas bawah (terhadap Charlotte, juga terhadap Dolores/Lolita), scheming -- memanipulasi untuk kepentingan diri sendiri, dan possessive -- menguasai, mengontrol untuk memuaskan diri sendiri. Shelley Winters yang selalu tampil menjiwai sebagai wanita yang histeris dan pathetic/'ngenes' :-) adalah aktres yang tepat memainkan peran Charlotte Haze. Charlotte, seorang janda dari kelas bawah, sangat ingin menaikkan status sosialnya dengan bersosialisasi dengan orang-2 dari kelas atas -- istilahnya, social climber. Sedemikian desperate-nya, dia menutup mata terhadap motivasi sesungguhnya dari pria-2 dari so called "kelas atas" tersebut. Sedemikian ignorant-nya, dia tidak mampu melihat anaknya yang menginjak dewasa ini mulai menampilkan kedewasaannya secara tidak pantas, dia juga tidak mampu melihat pria-2 dari "kelas atas" tersebut menyimpan agenda terselubung setiap kali mereka tersenyum kepadanya. Singkat kata, Charlotte adalah ibu dan wanita yang betul-2 pathetic, mengenaskan (!) ... dan Winters membawakan peran ini dengan sempurna! Peter Sellers dengan kemampuannya menampilkan "seribu wajah" adalah aktor yang tepat memainkan peran Clare Quilty. Charlotte tergila-2 dengan Clare karena dia adalah seorang playwright (penulis teater) -- menuju akhir film reputasi sesungguhnya terkuak sebagai seorang pornographer. Kubrick memberi kebebasan kepada Sellers untuk berimprovisasi dan hasilnya sangat menarik! Sebagai playwright, Sellers tampil avant-garde, superior, dan sekaligus arogan (tidak heran Charlotte tergila-2 ingin mendekatinya). Sebagai polisi, Sellers tampil misterius dengan gaya interogasinya yang pasif-agresif. Sebagai Doctor Zempf, Sellers tampil betul-2 maniak (peran ini nampaknya menjadi acuan bagi Sellers untuk perannya di kemudian hari dalam film Dr. Strangelove yang juga disutradarai oleh Kubrick). Karakter-2 samaran yang dimainkan Sellers ini betul-2 menggelitik, karena dia tidak ada habisnya "menyiksa" Humbert dari awal sampai akhir film :-) Di Golden Globes, ajang penghargaan yang diberikan oleh kalangan jurnalis, Mason, Winters, dan Sellers, ketiganya menerima nominasi untuk aktor terbaik, aktres terbaik, dan aktor pendukung terbaik. Penulis setuju sekali, kekuatan utama film ini ada di pundak mereka.

*) Orang dewasa yang mempunyai nafsu birahi terhadap anak-2.

Bagaimana dengan ceritanya sendiri? Sebagian besar penonton menilai film ini sebagai cerita tabu tentang fedofilia. Penulis setuju, tetapi fedofilia bukan satu-2nya topik yang dieksplorasi oleh Kubrick di sini; ada topik yang lain, yaitu: (kecenderungan) sifat posesif pria terhadap wanita, dhi. sifat posesif tiga pria dalam hidup Lolita. Humbert ingin memiliki Lolita dan kemudian berusaha "mendidik"-nya -- seakan-2 tidak cukup menjadi kekasih saja, dia juga ingin menjadi ayah Lolita! :-) Sikap Humbert yang senang mengontrol ini akhirnya "menyesakkan" Lolita. Clare juga ingin memiliki Lolita (Lolita mula-2 mempunyai "crush" terhadapnya). Tetapi segera setelah Lolita memberontak darinya, ketika dia menolak berperan dalam film "seni"-nya (baca: pornografi), Clare mencampakkannya. Di akhir film, Lolita ditampilkan sudah berkeluarga. Suaminya juga posesif terhadap dirinya, menuntut ini dan itu tanpa mempedulikan perasaannya. Di akhir film, Lolita mengakui bahwa dia tidak pernah mencintai Humbert, tidak mencintai Clare, juga tidak mencintai suaminya -- well, tidak mengherankan kalau dia tidak mencintai semuanya! :-) Kalau dipikir-2, semua karakter dalam film ini betul-2 hopeless dan tragis; nevertheless, ada pelajaran berharga yang dapat ditarik dari komedi gelap ini.

All in all, Lolita is an incredibly sharp piece of filmmaking; khususnya penampilan Mason, Winters, dan Sellers. Sayangnya, karakter Winters dimatikan di tengah film, padahal karakter ini mempunyai fungsi penting sebagai ground/foundation di tengah-2 Humbert yang semakin neurotic, obsessive dan Clare yang semakin evil, sinister.

8.5/10

Lolita dapat anda temukan di eBay.com


Thursday 12 July 2012

School of Rock

Resensi Film: School of Rock (7.8/10)

Tahun Keluar: 2003
Negara Asal: USA, Germany
Sutradara: Richard Linklater
Cast: Jack Black, Joan Cusack, Mike White, Miranda Cosgrove, Sarah Silverman

Plot: Dipecat dari grup rock band-nya karena dinilai terlalu fanatik, Dewey Finn terancam kehilangan atap di atas kepalanya karena sudah lama nunggak biaya sewanya. Out of desperation, dia "membajak" lowongan pekerjaan untuk temannya, Ned Schneebly, dan berpura-2 menjadi guru di sebuah sekolah dasar (IMDb).

Masih dalam tema yang sama seperti Tootsie (1982), pemeran utama dalam film ini adalah seorang artis yang harus berjuang untuk mencari nafkah. Sama seperti Dustin Hoffman yang sangat menjiwai perannya sebagai aktor, Jack Black juga sangat menjiwai perannya sebagai pemusik rock -- selidik punya selidik, dia ternyata adalah pemusik rock dalam kehidupan sehari-2nya; dia adalah lead singer/guitarist dalam grup rock band-nya, "Tenacious D", dan masih aktif sampai sekarang! Sama seperti Michael Dorsey (Hoffman) yang percaya bahwa dia adalah aktor yang baik, Dewey Finn (Black) juga percaya bahwa dia adalah pemusik rock yang baik ... sayangnya, hanya dia saja yang bisa mengapresiasi bakat tersebut; orang lain tidak ada yang peduli terhadapnya. Penulis rada kecewa melihat rating film ini di IMDb yang suam-2 kuku/bahkan semakin turun -- mungkin para film critic tersebut sudah kehilangan sense of humour-nya? :-) Kalau dibandingkan dengan film-2 drama, serius, high-minded, cerita dalam film ini memang sederhana dan predictable; tetapi kalau dibandingkan dengan film-2 komedi sekelasnya, film ini berada di atas rata-2. Apalagi film komedi ini dapat dinikmati oleh orang dewasa dan anak-2; bukan sekedar orang dewasa yang terpaksa pergi nonton karena harus mengantar anaknya nonton, tetapi orang dewasa yang pergi sendirian untuk menontonnya.

Satu-2nya kelemahan dalam film ini adalah cerita yang predictable dan rada ndak masuk akal. Tetapi, hey ... memangnya ada berapa banyak film yang ceritanya predictable dan ndak masuk akal? Mengapa para film critic tersebut nge-"pick on" Jack Black? :-) Menurut penulis, JB berperan sangat baik dalam film ini. Dari awal sampai akhir, JB berhasil "menularkan" spirit/antusiasme dan energi-nya ke penonton yang duduk di seberang layar. Dan sutradara film indie, Richard Linklater, mengetahui hal ini dan memberi kebebasan JB untuk bersinar. Namun demikian, Linklater tidak melupakan peran-2 yang lainnya; dia memastikan peran-2 tersebut juga bersinar: Joan Cusack tampil meyakinkan sebagai kepala sekolah yang kaku dan disiplin, yang di kemudian hari ketemon bahwa dia sesungguhnya merindukan kehidupan yang berbeda dari yang dia jalani saat ini -- di masa mudanya, dia adalah penggemar Stevie Nicks dengan "Edge of Seventeen"-nya :-) Mike White tampil meyakinkan sebagai flat mate JB, Ned Schneebly, yang terjepit antara kesetiaan terhadap teman dan pacarnya yang judes (akting White setingkat dengan akting Paul Giamatti), yang di kemudian hari ketemon bahwa di masa mudanya dia adalah anggota grup rock band :-) Sarah Silverman tampil meyakinkan sebagai pacar yang judes, sarkastik -- karakternya sengaja di-single-dimensional-kan, di-karikatur-kan, untuk menimbulkan rasa antipati/kebencian penonton terhadapnya (beberapa kali dalam 108 menit masa putar film ini penulis sempat mengumpat dalam hati: "Shut up you bitch!" :-))

Dan Linklater tidak berhenti sampai di sini saja. Dia memberi kesempatan anggota cast anak-2 untuk turut bersinar: Miranda Cosgrove, 10 tahun, sebagai Summer, anak ambisius yang menghalalkan segala cara untuk mencapai sukses -- Cosgrove hampir saja "mencuri" centre stage dari JB (Dewey menjulukinya "Tinker Bell"). Joey Gaydos Jr., 12 tahun, sebagai Zack, anak pemalu tetapi berbakat main gitar (Dewey menjulukinya "Zack-Attack"). Kevin Clark, 15 tahun, sebagai Freddy, anak bully tetapi berbakat main drum (Dewey menjulukinya "Spazzy McGee"). Rebecca Brown, 11 tahun, sebagai Katie, anak pendiam tetapi berbakat main gitar bass (Dewey menjulukinya "Posh Spice"). Robert Tsai, 15 tahun, sebagai Lawrence, anak terkucil tetapi berbakat main keyboard (Dewey menjulukinya "Mr. Cool"). Maryam Hassan, 10 tahun, sebagai Tomika, anak tidak percaya diri yang ternyata mempunyai suara merdu (Dewey menjulukinya "Songbird"). Dan semuanya yang lain -- tidak peduli sekecil apapun perannya, semuanya turut bersinar.

Penulis khususnya terkesan dengan scene ketika JB menjelaskan definisi musik rock -- bukan definisi menurut kamus, tetapi definisi menurut dia ... sticking it to "The Man"! :-)

Dewey Finn (berpose sebagai Ned Schneebly): "Yes! But, you can't just say it, man. You've gotta feel it in you're blood and guts! If you wanna rock, you gotta break the rules. You gotta get mad at the man! And right now, I'm the man. That's right, I'm the man, and who's got the guts to tell me off? Huh? Who's gonna tell me off?"

Freddy: "Shut the hell up, Schneebly!"
Dewey Finn: "That's it Freddy, that's it! Who can top him?"

Alicia: "Get outta here, stupidass."
Dewey Finn: "Yes, Alicia!"

Summer: "You're a joke, you're the worst teacher I've ever had!"
Dewey Finn: "Summer, that is great! I like the delivery because I felt your anger!"
Summer: "Thank you."

Lawrence: "You're a fat loser and you have body odour."
Dewey Finn: "... All right, all right! Now, is everybody nice and pissed off?"

Definisi musik rock dari JB ini betul-2 definisi yang paling berkesan. Ndak perlu buka kamus, langsung teringat dan selalu terkenang ... :-)

Secara keseluruhan, kelemahan film ini berhasil ditempuhi dengan kekuatannya, yaitu: 1) Jack Black, 2) Script yang pandai dan lucu, 3) Arahan Linklater yang memberi kesempatan semua cast, termasuk cast anak-2, untuk tampil unik dan bersinar, 4) Menunjukkan bagaimana musik, bahkan musik rock-pun, dapat membantu anak-2 membangun rasa percaya diri sehingga mereka mampu mencapai potensi yang ada di dalam dirinya (ini adalah hal yang sering dilupakan, apalagi di Indonesia dimana pendidikan musik boleh dikatakan tidak pernah memperoleh tempat serius -- paling-2 cuma menjadi pelajaran ekstra kurikuler), bahkan untuk anak-2 yang tidak mempunyai bakat musik sekalipun -- misalnya dalam film ini, Summer, yang pintarnya cuma nge-boss-i orang saja :-), dan last but not least, 5) Soundtracks fim ini berisi segudang musik rock dari grup-2 rock band ternama, mulai dari The Doors, AC/DC, Metallica, Led Zeppelin, Stevie Nicks, sampai David Bowie.

Anda mempunyai sense of humour? Anda penggemar musik rock? Anda semestinya dapat menikmati film ini.

Anda mempunyai sense of humour? Anda bukan penggemar musik rock? Hati-2, setelah menonton film ini anda bakalan menggemari musik rock :-)

* 7.8/10

School of Rock dapat anda temukan di eBay.com

Tuesday 10 July 2012

Tootsie

Resensi Film: Tootsie (8.5/10)

Tahun Keluar: 1982
Negara Asal: USA
Sutradara: Sydney Pollack
Cast: Dustin Hoffman, Jessica Lange, Teri Garr, Bill Murray

Plot: Opera sabun Southwest General mempunyai bintang baru, namanya Dorothy Michaels. Tidak seperti bintang-2 wanita yang lain, yang diam saja terhadap diskriminasi seksual (sexism) yang terjadi di dalam set dan script-nya, Dorothy berani protes! Dalam waktu singkat Dorothy menjadi pujaan penonton dan rating opera sabun tersebut naik melejit. Tetapi Dorothy menyimpan rahasia besar: dia adalah pria -- dia adalah aktor yang bernama Michael Dorsey :-) (IMDb)

Entah kenapa, mungkin untuk alasan yang sangat jelas, seorang aktor/aktres paling bagus memainkan peran tentang profesinya sendiri. Hollywood menyukai film tentang film atau film tentang insan perfilman/artis. Hollywood juga menyukai aktor/aktres yang memainkan peran artis yang lain. Dan ini ada benarnya, mereka memang paling bagus membuat film atau memainkan peran tentang diri mereka sendiri. Tanpa belajar lebih banyak, mereka langsung memahami peran yang mereka mainkan, karena mirip seperti diri mereka sendiri.

Sequence awal dari Tootsie merangkum dan menampilkan situasi ini dengan sangat efektif. Mula-2 menampilkan Michael Dorsey (Dustin Hoffman) mengajar para aktor muda di workshop-nya. Kemudian scene berpindah menampilkan Dorsey melakukan audition di berbagai tempat, tetapi selalu ditolak -- tidak peduli sebagus apapun dia berakting. Kemudian scene berpindah selang-seling menampilkan Dorsey menasehati para aktor muda tentang tingginya tingkat pengangguran di kalangan artis, Dorsey berdebat dengan seorang sutradara, dan diakhiri dengan Dorsey bersitegang dengan agennya, George Fields (Sydney Pollack), yang memberitahu dia bahwa tidak ada produser/sutradara yang mau menerima dia karena dia terlalu "sulit", terlalu memegang "prinsip" :-) Scene Hoffman dan Pollack ini betul-2 kocak. Hoffman, yang aktor, sangat menjiwai perannya sebagai aktor yang punya "prinsip", yang tidak bisa menerima mengapa produser/sutradara tidak bisa memahami "prinsip"-nya. Sedang Pollack, yang sutradara, sangat menjiwai perannya sebagai orang yang berhadapan dengan aktor yang punya "prinsip" tersebut :-) Keduanya sama-2 benar dan sama-2 tidak mau mengalah ... wonderful! :-)

Walaupun "prinsip" dipegang teguh, perut ternyata keroncongan minta diisi ... akhirnya, out of desperation, Dorsey nekad melalukan audition di opera sabun Southwest General, ketika pacarnya, Sandy Lester (Teri Garr), tidak berhasil memperoleh peran sebagai administrator rumah sakit. Dengan mengenakan rambut palsu, make-up tebal, dan pakaian wanita, Michael Dorsey berubah menjadi Dorothy Michaels. Scene ketika Dorothy masuk ke dalam layar betul-2 mengejutkan, lagi-2 kocak. Sydney Pollack dengan pandai meletakkan kamera di tengah para pejalan kaki di sebuah kaki lima yang ramai di New York: penonton mula-2 tidak mengetahui shot ini menampilkan siapa, penonton kemudian mencari-2 wajah yang dikenal di antara para pejalan kaki tersebut. Kemudian, sedikit demi sedikit kamera mengarah ke seorang wanita, padahal ada banyak wanita yang lain yang mirip seperti dia. Mengapa kamera tersebut mengarah ke dia??? ... ... ... oooh, Dustin Hoffman! :-)

Dengan awal seperti ini, Tootsie membawa penonton ke petualangan yang lebih dari sekedar komedi tentang salah identitas (mistaken identity), tetapi juga ke topik-2 serius yang lain, yaitu: kehidupan riel para artis di New York yang sama sekali tidak glamorous (setiap harinya mereka harus berjuang untuk mencari nafkah), satire/cerita di balik layar produksi opera sabun, dan diskriminasi seksual (sexism) -- menjadi bagian terbesar dalam film ini. Ditulis oleh tim penulis yang handal, script film ini termasuk salah satu dari script-2 paling ketat dalam perfilman. Bagaimana tidak, karena sejak Michael berubah menjadi Dorothy, berbagai komplikasi muncul dan semuanya minta perhatian penonton:

  1. Michael menyembunyikan rahasia ini dari pacarnya, Sandy -- cuma flat mate-nya saja, Jeff Slater (Bill Murray), yang mengetahui hal ini.
  2. Dorothy mesti menyembunyikan rahasia ini dari Southwest General (dan penonton!).
  3. Sejak dari awal Dorothy benci dengan sang sutradara, Ron Carlisle (Dabney Coleman), yang suka merendahkan dirinya, juga anggota cast wanita yang lain, terutama Julie Nichols (Jessica Lange) yang di kemudian hari dia jatuh cinta dengannya.
  4. Di setting Southwest General ada aktor gaek yang memerankan dokter playboy, John Van Horn (George Gaynes), yang selalu berusaha mencium dirinya :-), juga anggota cast wanita yang lain, tidak peduli bahwa tindakannya itu adalah pelecehan seksual (sexual harrasment), yang di kemudian hari jatuh cinta dengannya dan membuntutinya sampai ke rumahnya.
  5. Ayah Julie, Les Nichols (Charles Durning), di kemudian hari juga jatuh cinta dengannya dan bahkan melamarnya.
  6. Julie menyangka dia lesbian, ketika dia mengungkapkan perasaannya ke Julie.
  7. Sandy menyangka dia gay, ketika dia ketemon memperoleh hadiah dari seorang pria.
  8. Akhirnya, Michael/Dorothy tidak bisa keluar dari Southwest General karena (ratingnya naik terus) produsernya terus memperpanjang kontraknya.

Melihat film ini, penulis setuju dengan pendapat Roger Ebert yang mengatakan bahwa Tootsie adalah film yang mirip seperti film-2 komedi dari era 1940-an, misalnya film-2 komedi yang dibintangi oleh Cary Grant dan Katharine Hepburn, Spencer Tracy dan Katharine Hepburn, atau yang lainnya, dimana filmmaker tidak takut mencampur kekonyolan dengan keseriusan, komedi dengan komentar sosial, dan kehangatan dengan tawa. Setuju pol!!! Memang betul, "sandiwara" Dorothy Michaels mungkin terlalu lama tidak ketemon dibandingkan jika seandainya hal ini terjadi di dunia nyata. Dengan kata lain, rada unbelievable. Namun demikian, kekurangan ini berhasil ditutupi oleh antusiasme penonton yang ingin mengetahui lebih lanjut bagaimana Michael yang berubah menjadi Dorothy ini menghadapi segala komplikasi yang terjadi.

Menerima 10 nominasi Oscar, termasuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Script Terbaik, Aktor Terbaik, dan 2 Aktres Pendukung Terbaik (Garr dan Lange -- Lange terpaksa dimasukkan sebagai aktres pendukung, karena aktres utamanya adalah Dorothy, yang notabene adalah Hoffman sendiri), sayang sekali hanya memenangkan 1 Oscar saja, yaitu Aktres Pendukung Terbaik untuk Lange. Saat itu, ada film penting yang lain yang menyapu bersih penghargaan-2 utama Oscar, yaitu Gandhi (1982), biopik dari Mahatma Gandhi.

* 8.5/10

Tootsie dapat anda temukan di eBay.com

Tuesday 3 July 2012

The Day of the Jackal

Resensi Film: The Day of the Jackal (8.5/10)

Tahun Keluar: 1973
Negara Asal: UK, France
Sutradara: Fred Zinnemann
Cast: Edward Fox, Michael Lonsdale, Derek Jacobi

Plot: Pada awal dekade 1960-an, organisasi militan bawah tanah penentang pemerintah Perancis, OAS, menyewa pembunuh bayaran dengan nama sandi "Jackal" untuk membunuh Presiden Charles de Gaulle (IMDb).

Film fiksi sejarah yang membuat penulis duduk terpaku selama 140 menit ini adalah adaptasi sangat dekat dari novel thriller dengan judul yang sama karya Frederick Forsyth. Penulis tidak banyak mengetahui sejarah Perancis, tetapi sekilas -- hanya sekilas saja -- mengetahui bahwa Presiden Charles de Gaulle adalah tokoh yang "colourful", membuat dirinya: mempunyai banyak pendukung, sekaligus penentang; populer, sekaligus disatroni; patriot, sekaligus target usaha pembunuhan -- mengapa demikian, penulis kurang tahu *); tetapi sejauh yang penulis ketahui, de Gaulle tidak pernah terbunuh.

Film fiksi sejarah ini menempatkan cerita fiksi tentang seorang pembunuh bayaran, dengan nama sandi "Jackal" (dimainkan dengan coldness dan perfection yang sangat pas oleh aktor Inggris, Edward Fox), di dalam setting sejarah setelah organisasi militan bawah tanah penentang pemerintah Perancis, OAS, gagal melakukan pembunuhan terhadap de Gaulle di Petit Clamart pada bulan Agustus 1962. Novelnya sendiri adalah best-seller! Tetapi, bagi Fred Zinnemann film ini adalah tantangan besar: penonton mengetahui de Gaulle tidak tewas terbunuh, berarti pembunuh bayaran tersebut gagal misinya. Bagaimana membuat film suspense dimana penonton mengetahui hasil akhirnya, tetapi mereka tetap tertarik untuk mengikutinya? Well, Zinnemann membuat keputusan yang tepat ... stay close to the book!

Penonton jaman sekarang, kalau disuguhi dengan tema pembunuh bayaran, yang langsung terbersit dalam benak mereka adalah action! Padahal, sebelum action bisa terjadi (apalagi kalau action tersebut diharapkan berhasil :-)), diperlukan persiapan yang sangat matang. Dan persiapan tersebut biasanya meliputi kegiatan-2 yang bersifat non-action dan solitary (sendirian), misalnya: riset -- mengumpulkan data, mengumpulkan informasi, mengumpulkan bahan/materi, analisis, profiling, dan lain sebagainya. Polisi yang berusaha menangkap pembunuh bayaran tersebut, Commissioner Claude Lebel (dimainkan dengan intelligence yang mengimbangi kualitas lawannya oleh aktor Perancis, Michael Lonsdale), juga tidak bisa langsung melakukan action, karena dia perlu persiapan yang sama-2 matangnya: riset -- mengumpulkan data, mengumpulkan informasi, analisis, profiling, dan lain sebagainya. Namun demikian, tidak berarti dalam film ini tidak ada action, diselang-selingi oleh action (where necessary/dimana diperlukan!), The Day of the Jackal lebih merupakan psychological thriller yang ketat, dari awal sampai akhir, antara dua tokoh utamanya: The Jackal, si pembunuh bayaran, dan Claude Lebel, si polisi!

Penulis khususnya terkesan dengan detil fisik dan karakter si pembunuh bayaran yang sama sekali tidak menarik perhatian, tetapi extra-ordinary: berperawakan kecil/sedang, disiplin, pandai, perfeksionis, dan dia adalah seorang loner/penyendiri -- selalu bekerja sendirian dan tidak pernah meninggalkan jejak atau saksi mata. Zinnemann membawa penonton mengetahui segala sesuatu yang dilakukan oleh dirinya. Detil persiapan yang dia lakukan adalah tontonan yang mengasyikkan: dia mempersiapkan berbagai samaran (make-up, potongan rambut, dll.), mempersiapkan berbagai identitas palsu, melintasi berbagai negara untuk mengumpulkan bahan/materi, dll., dan memulai buruannya terhadap de Gaulle. Pada saat yang sama, Zinnemann juga membawa penonton mengetahui segala sesuatu yang dilakukan oleh si polisi. Ternyata sama seperti lawannya, detil fisik dan karakter si polisi juga sama sekali tidak menarik perhatian, tetapi extra-ordinary: berusia setengah baya, berperingai tenang, disiplin, pandai, perfeksionis, dan dia juga seorang loner/penyendiri :-) Tetapi dalam kasus ini dia mengijinkan satu asisten saja, Caron (dimainkan dengan antusiasme seorang protege/"murid" yang sangat pas oleh aktor muda Inggris, Derek Jacobi, yang di kemudian hari mempunyai karier yang sukses dan panjang, baik di teater maupun film, di Inggris dan Hollywood).

Bagaimana "kejar-2an" antara The Jackal dan Claude Lebel?

Bagaimana klimaks akhirnya? You will have to watch it yourself :-)

Di akhir film, Zinnemann tidak lupa menyertakan epilogue dalam novelnya yang bahkan lebih aneh dari ceritanya sendiri, which you will have to see it yourself, as I'm not spoiling it, either! :-)

Selain adaptasi yang sangat dekat dari novelnya, film ini mempunyai lokasi setting yang sangat imajinatif, meliputi berbagai negara di Eropa. Pemerintah Perancis sangat membantu ketika film ini shooting di Perancis, menyediakan tentara sebagai figuran dan lokasi khusus untuk men-shooting parade ketika perayaan Liberation Day -- menciptakan suasana dokumenter yang otentik (padahal ini cuma cerita fiksi saja lho).

Kalau anda penggemar film thriller plus, yaitu film thriller di atas rata-2 film thriller, film sepanjang 140 menit ini sedemikian memikatnya, anda akan lupa pada waktu tersebut. Hati-2, jangan salah pilih dengan film dengan judul yang mirip, The Jackal (1997), yang dibintangi oleh Bruce Willis dan Richard Gere.

The Day of the Jackal is the real thing, baby! :-)

Catatan kaki:

*) Mempertimbangkan karakter de Gaulle yang unik dan menarik ini, mungkin suatu saat ada filmmaker yang tertarik membuat film biopik tentang dirinya -- kalau dikerjakan dengan baik, pasti akan menjadi film yang sangat menarik! Penulis heran juga, mosok sampai saat ini belum ada film biopik tentang de Gaulle ... ?!

* 8.5/10

The Day of the Jackal dapat anda temukan di eBay.com