Saturday 28 September 2013

Grease, Walk the Line, Les Misérables

Triple Actors Turned Into Singers!


Kalau penyanyi tampil sebagai aktor jumlahnya lumayan banyak, sebaliknya sama sekali tidak banyak. Dari jumlah yang tidak banyak tersebut, sebagian besar tampil dengan resiko diketawain -- seperti dalam “The X Factor” -- misalnya, Jim Carrey dalam the Cable Guy (1996) atau Gwyneth Paltrow dalam Duets (2000), bikin penonton feel embarrassed melihatnya :-), dan hanya sebagian kecil tampil serius. Dari sebagian kecil yang tampil serius ini, mereka jatuh dalam dua kategori, yaitu: pertama, mereka yang suaranya di-dubbing, artinya mereka hanya akting menyanyi saja, a.l. Deborah Kerr dalam The King and I (1956), Audrey Hepburn dalam My Fair Lady (1964), atau Jamie Foxx dalam Ray (2004); kedua, mereka yang betulan menyanyi. Penulis kali ini memilih empat aktor yang tampil serius menyanyi dan memang betulan menyanyi. Dengan demikian, semua aktor yang asal-usulnya dari theatre musicals tidak penulis tampilkan, misalnya Gene Kelly atau Judy Garland dan anak perempuannya, Liza Minnelli.

1) Grease (1978)

John Travolta.

Adaptasi dari theatre musical dengan judul yang sama, walaupun ceritanya tipis (setipis romantika SMA :-)) dan tidak memenangkan satupun piala Oscar, Grease berada di posisi aman dalam daftar film klasik. Ada tiga faktor yang membuat Grease tidak lekang karena panas dan tidak lapuk karena hujan: Pertama, chemistry antara John Travolta dan Olivia Newton-John terbukti everlasting, eternal, forever. Ditonton pada jamannya, sekarang, atau masa yang akan datang, oleh generasi yang lahir pada jamannya, sekarang, atau masa yang akan datang, chemistry di antara mereka tetap fully-charged! Dalam kenyataan, walaupun mereka terpisah 15000 km antara Amerika dan Australia, setiap kali Travolta datang ke Australia, pertemuan mereka selalu membangkitkan kembali popularitas Grease. Demikian juga sebaliknya. Mereka betul-2 pasangan on-screen yang sempurna -- till death they do part. Kedua, lagu-2nya juga terbukti forever. Didengarkan pada jamannya, sekarang, atau masa yang akan datang, oleh generasi yang lahir pada jamannya, sekarang, atau masa yang akan datang, lagu-2nya tetap terdengar in, fashionable. Ketiga, ada sesuatu yang “ndak bener” dengan Rydell High School; apa ya??? ... oh, para muridnya semuanya sudah ketuaan :-) -- Danny (John Travolta) berusia 24 tahun, Sandy (Olivia Newton-John) 30 tahun, Betty (Stockard Channing) 34 tahun, dan Kenickie (Jeff Conaway) 28 tahun. No wonder they were so good! Mana mungkin anak SMA betulan bisa sebagus itu? :-) Hahaha. Walaupun bersetting romantika SMA, Grease sesungguhnya adalah film nostalgia (atau imajinasi/mimpi yang ndak kesampean) penonton dewasa tentang masa lalu mereka di SMA.

Forever ... klasik.

2) Walk the Line (2005)

Joaquin Phoenix.
Reese Witherspoon.

Sayang sekali biopic penyanyi country Johnny Cash ini tidak menerima lebih banyak nominasi/piala dalam Oscar 2006. Penampilan Reese Witherspoon sebagai istri Cash, June Carter, betul-2 meruntuhkan typecast-nya sebagai Elle Woods dalam Legally Blonde (2001). Sejak penampilannya dalam film ini, Witherspoon bukan lagi aktres manis yang berambut pirang, tetapi aktres! Titik. A really good one. Dan yang lebih mengejutkan lagi, dia tidak hanya akting, tetapi menyanyi juga, dan tidak di-dubbing. Piala Oscar Aktres Terbaik yang sangat pantas untuk Witherspoon. Sayangnya, Joaquin Phoenix tidak mengalami nasib yang sama seperti rekannya ini. Saatnya sesungguhnya tepat untuk Phoenix untuk memenangkan Oscar Aktor Terbaik untuk perannya sebagai Johnny Cash ini -- menarik simpati dan dicintai banyak orang. Juga siapa yang nyangka Phoenix menyanyi betulan, lagu-2 legendaris Johnny Cash, sama sekali tidak di-dubbing. Keduanya tampil menyakinkan dan menghanyutkan.

3) Les Misérables (2012)

Anne Hathaway.

Setelah membaca bukunya, adaptasi dari theatre musical dengan judul yang sama ini ternyata lumayan patuh dengan bukunya. Bravo. Menonton pertama kali di gedung bioskop (tidak pernah nonton musical-nya), penulis kurang bisa mengapresiasi musiknya. Menonton kedua kalinya di DVD, dengan subtitle sengaja di-“on”-kan (agar dapat dengan lebih baik menangkap lirik dalam lagu-2nya), penulis terkejut -- bagaikan terjaga dari tidur lelap selama ini -- betapa indah dan betapa cocoknya lirik dalam lagu-2 tersebut menceritakan isi bukunya. Dan bukan pertama kali ini penulis keliru mengapresiasi gara-2 “tidur lelap”.

Yes, they are beautiful.

Selain Hugh Jackman dan sebagian cast yang berasal dari theatre musicals, cast Hollywood yang lain, termasuk Russell Crowe (!), dengan berani dan meyakinkan menyanyi betulan. Dan tidak hanya itu, menyanyinya tidak dilakukan di dalam studio kemudian ditambahkan ke dalam track film, tetapi direkam live bersamaan dengan shooting adegannya. Ini betul-2 menarik, karena menciptakan efek realism yang tajam. Di tengah pasukan theatre musicals yang berpengalaman, Anne Hathaway berhasil mencuri perhatian penonton, dan para film critic, dengan penampilannya sebagai Fantine dan lagunya “I Dreamed a Dream” yang heart-rending.


Grease, Walk the Line, Les Misérables dapat anda temukan di eBay.com

Friday 20 September 2013

Going My Way, From Here to Eternity, Moonstruck

Triple Singers Turned Into Actors!



Hampir semua penyanyi pernah tampil dalam film, mencoba menjadi aktor, tetapi tidak banyak yang berhasil. Akting ternyata tidak segampang yang kita bayangkan. 3 “Singers Turned Into Actors” berikut ini penulis pilih karena masing-2 pernah memenangkan Oscar untuk peran Non-Singing dan lebih dari 1 kali menerima nominasi Oscar juga untuk peran Non-Singing. Singkat kata, penyanyi dengan peran tidak menyanyi. Dengan demikian, Barbra Streisand tidak penulis tampilkan kali ini karena walaupun dia pernah memenangkan Oscar, perannya adalah peran menyanyi: Funny Girl (1968). Barbra Streisand bisa menyanyi dengan sangat baik dan meyakinkan? ... well, of course! :-)

1) Going My Way (1944)

Bing Crosby.

Film garapan Leo McCarey ini adalah film sederhana tentang orang-2 yang sederhana dalam setting cerita yang sederhana pula. Father O'Malley (Bing Crosby), seorang pastor muda, dikirim ke paroki St. Dominic’s di New York City untuk menjadi asisten dari Father Fitzgibbon (Barry Fitzgerald), pastor paroki yang sudah tua. Berbeda dari gaya pastor paroki yang kaku dan kolot, Father O'Malley lebih fleksibel dan terbuka terhadap perubahan. Tidak menyukai gaya Father O'Malley, Father Fitzgibbon melaporkan dirinya ke pemimpin gereja untuk mengeluarkannya dari parokinya. Tetapi pemimpin gereja memberitahu Father Fitzgibbon bahwa Father O'Malley dikirim ke parokinya bukan untuk menjadi asistennya, tetapi untuk menggantikannya. Father O'Malley menghadapi berbagai masalah paroki dengan pendekatan humanisme yang hangat dan bersahabat (karena memang itulah gayanya, “his way”, “going his way”): mulai dari umat yang kehilangan rumahnya, wanita muda yang melarikan diri dari rumah orangtuanya, gerombolan anak muda yang sering berurusan dengan polisi, bekas pacar O'Malley yang sekarang menjadi penyanyi opera ternama, dan sekarang ditambah dengan Father Fitzgibbon yang distressed dan melarikan diri dari parokinya :-) Mampukah O'Malley menyelesaikan misinya di St. Dominic’s? Script dengan rapi menjalin semua sub-plot yang ada menuju akhir yang bittersweet, just like life itself.

Film pemenang Film Terbaik Oscar 1945 ini adalah film sederhana yang indah dan mengesankan.

2) From Here to Eternity (1953)

Frank Sinatra.

Cerita saga tentang “trials and tribulations”, masalah dan ujian, dari tiga prajurit, Sergeant Milton Warden (Burt Lancaster), Private Robert E. Lee Prewitt (Montgomery Clift), dan Private Angelo Maggio (Frank Sinatra), menjelang serangan Jepang ke Pearl Harbour di Hawaii. Diingat penonton dengan scene klasik Burt Lancaster dan Deborah Kerr berciuman di pantai Oahu, Hawaii, sementara ombak lautan Pasifik menerpa mereka, cerita saga dari novel dengan judul yang sama karya James Jones ini mempunyai detil cerita dan karakterisasi yang sangat baik -- dan berkat script yang jeli detil tersebut tidak hilang dalam proses adaptasi. Didukung oleh akting yang mumpuni dari cast utamanya, Frank Sinatra dan Donna Reed berhasil mencuri perhatian para film critic dan masing-2 menggondol Oscar untuk Aktor Pendukung Terbaik dan Aktres Pendukung Terbaik.

Film pemenang Film Terbaik Oscar 1954, bertahan klasik sampai saat ini.

3) Moonstruck (1987)

Cher.

Despite kenyentrikan dirinya, Cher adalah aktres yang mumpuni. Empat tahun sebelumnya, dia tampil bersama Meryl Streep dalam Silkwood (1983) dan mampu mengimbangi akting Streep -- dia menerima nominasi Oscar untuk Aktres Pendukung Terbaik. Dalam film ini, bersetting dalam keluarga imigran Itali di New York City, Cher sekali lagi membuktikan dirinya memang bisa akting.

Dibesarkan dalam tradisi Itali, Loretta Castorini (Cher) baru saja menjanda gara-2 suaminya mati ditabrak bis. Percaya bahwa nasib buruk tersebut terjadi gara-2 perkawinannya tidak direstui orangtuanya dan tidak dilakukan di gereja, kali ini setelah dia menemukan calon suami baru, Johnny, seorang imigran Itali juga, dia memastikan bahwa dia mematuhi semua tradisi Itali agar perkawinan tersebut lancar. Loretta sesungguhnya tidak cinta dengan Johnny, tetapi karena orangtuanya suka dengannya, Loretta bersedia kawin dengannya. Lebih komplet lagi, Johnny ternyata adalah pria yang juga mematuhi tradisi Itali. It seems like a perfect match! :-) Ketika Johnny pulang ke Sicilia untuk minta restu ibunya, Loretta bertemu dengan adik Johnny, Ronny (Nicolas Cage), yang sifat dan sikapnya kebalikan dari saudaranya. And they fell in love ... dan komplikasi timbul.

Cerita dengan setting keluarga Itali memberi nuansa baru dan menyegarkan, karena tidak seperti biasanya (keluarga Anglo), mereka tidak sungkan-2 ceplas-ceplos ngomong sesuatu yang termasuk “politically incorrect”. Hasilnya, dialog-2 yang tajam, tanpa tedeng aling-2, very funny! Melihat keluarga dalam film ini bagaikan berkaca melihat keluarga sendiri :-) Good or embarassing, it's my family. 15 tahun kemudian, Nia Vardalos, me-reprise cerita yang mirip dalam My Big Fat Greek Wedding (2002) -- kali ini bersetting dalam keluarga imigran Yunani.

Menerima nominasi Film Terbaik Oscar 1988, Cher dan Olympia Dukakis masing-2 menggondol Oscar untuk Aktres Terbaik dan Aktres Pendukung Terbaik. Sayang sekali Cher tidak tampil lebih banyak dalam film-2 drama.


Going My Way, From Here to Eternity, Moonstruck dapat anda temukan di eBay.com

Thursday 12 September 2013

Cool Hand Luke, Papillon, Midnight Express

Triple Prison Breaks!


Ada jaman-2 dimana penjara identik dengan hukuman -- murni hukuman. Kemudian pada tanggal 10 Desember 1948 PBB menandatangani deklarasi yang disebut dengan The Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Sejak itu penjara berubah fungsinya dari tempat hukuman menjadi tempat rehabilitasi. Tetapi perubahan ini tidak terjadi secara sekejap dan sepenuhnya: di beberapa tempat di dunia penjara masih berfungsi sebagai tempat hukuman, di beberapa tempat yang lain 50-50, di beberapa tempat yang lain lagi, misalnya di negara-2 Skandinavia, murni rehabilitasi -- ada televisi untuk hiburan, ada gym untuk olahraga, ada perpustakaan untuk belajar, ada klinik untuk berobat ... saking lengkapnya sampai orang yang tidak dipenjara pingin masuk penjara :-) I should move to Sweden :-) Tetapi kalau semua negara patuh terhadap UDHR, para filmmakers bakal kehilangan inspirasi untuk membuat film-2 dengan topik Prison Breaks -- bisa dibayangkan betapa uninteresting dan boring-nya cerita-2 penjara di negara-2 tersebut.

Cool Hand Luke (1967) dan Papillon (1973) bersetting di jaman sebelum UDHR; Midnight Express (1978) bersetting di negara yang saat itu mungkin belum sepenuhnya menerima UDHR.

1) Cool Hand Luke (1967)

Di masa lalu, kejahatan kecil menerima hukuman berat.

Setelah semalam suntuk menghabiskan waktunya di bar dan merusaki meteran-2 parkir di pinggir jalan, Luke Jackson (Paul Newman)ditangkap dan dihukum penjara dua tahun di “chain gang prison”* di Florida (* penjara dimana para napinya dirantai secara berentetan). Di dalam penjara Luke -- yang ternyata seorang hero/veteran PD-2 -- berhasil memperoleh respect dari teman-2 napinya. Kepala penjaranya, yang ternyata seorang sadistis (normal untuk ukuran jamannya), berusaha “mematahkan” Luke, jiwa dan raga -- apalagi Luke sering berusaha melarikan diri. Ketegaran Luke membuat dirinya diidolakan oleh teman-2 napinya, tetapi at the end apakah dia berhasil mengalahkan sistem yang memang didesain untuk “mematahkan” dirinya???

Film klasik yang menjadi signature dari Paul Newman.

2) Papillon (1973)

Lagi-2 di masa lalu, kejahatan kecil diganjar dengan hukuman berat.

Berdasarkan kisah nyata dari Henri Charrière dalam sistem penjara Perancis yang sadis, brutal, dan without mercy/tanpa ampun, sutradara Franklin J. Schaffner -- Planet of the Apes (1968) -- mempunyai keahlian menampilkan realitas buruk tanpa tedeng aling-2. Dan tidak hanya itu saja, ketika penonton mengira bahwa situasi sudah sangat buruk dan tidak mungkin menjadi lebih buruk lagi, Schaffner tanpa sungkan-2 menyodori penonton dengan situasi yang ternyata lebih buruk, dan lebih buruk lagi, dan lebih buruk lagi. Penonton tidak bisa lagi menebak sampai seburuk apa situasi bakalan menjadi. Ujian berat inilah yang harus dilalui oleh Henri Charrière (Steve McQueen) dan Louis Dega (Dustin Hoffman). At the end apakah mereka berhasil mengalahkan sistem yang memang didesain untuk “menghancurkan” mereka???

McQueen dan Hoffman secara fisik perlu diacungi jempol dengan diet ketatnya sehingga mereka tampil meyakinkan seperti napi yang betul-2 kurang makan. Secara akting, menjadi salah satu dari akting terbaik mereka. Klasik juga.

3) Midnight Express (1978)

Berdasarkan kisah nyata juga, tetapi bersetting di Turki. Mahasiswa Amerika, Billy Hayes (Brad Davis), bersama dengan kekasihnya berlibur di Turki. Mungkin karena harga cannabis di Turki murah, dia menyelundupkan 2 kg cannabis, strapped to his body, untuk dibawa pulang ke Amerika. Tetapi dia tertangkap di bandara dan dihukum penjara beberapa tahun, yang kemudian diubah dan diperpanjang menjadi 30 tahun! Berada di negara asing sendirian, tidak punya kerabat/keluarga untuk menjenguknya, harapan demi harapan pupus, dan penjara Turki yang mengerikan, sutradara Alan Parker dengan berhasil menampilkan bagaimana situasi ini sedikit demi sedikit menggerogoti jiwa dan raga Billy -- mendorongnya sampai ke batas antara waras dan gila. Ada banyak scene yang heartbreaking, tetapi dua yang paling memorable adalah ketika kekasihnya mengunjunginya di penjara dan scene terakhir. Berhasilkah Billy melarikan diri dari neraka tersebut?

Ketika membuat film ini (dan sesudahnya) Brad Davis bukan aktor yang ternama, tetapi aktingnya di sini sangat meyakinkan. Film ini adalah film klasik penting bagi semua anak muda yang bepergian ke luar negeri -- jangan macem-2, jangan banyak tingkah.


Cool Hand Luke, Papillon, Midnight Express dapat anda temukan di eBay.com

Friday 6 September 2013

Deliverance, Frantic, The Impossible

Triple Holidays Turned Into Nightmare!


Siapa yang nyangka bahwa nasib buruk bisa datang ketika kita sedang liburan? Memangnya, siapa sih yang bertujuan mencelakai orang yang sedang liburan? Orang yang predisposisi setiap harinya waspada-pun, ketika liburan dia akan bersikap rileks dan tidak cepat menaruh kecurigaan terhadap hal-2 yang nampak sepele.

Tetapi menurut tiga film berikut ini nasib buruk ternyata bisa datang di waktu yang kita paling tidak waspada tersebut.

1) Deliverance (1972)

Empat sekawan, Lewis (Burt Reynolds), Ed (Jon Voight), Bobby (Ned Beatty), dan Drew (Ronny Cox), memutuskan pergi berakhir pekan dengan ber-canoe di sebuah sungai di belantara terpencil di negara bagian Georgia sebelah utara. Lewis dan Ed sudah berpengalaman, sedang Bobby dan Drew adalah “newbies” -- baru pertama kali ini pergi ke belantara. Sesampai di tempat tujuan mereka bertemu dengan penduduk lokal yang uncivilized dan nampak hasil inbreeding (perkawinan terlalu dekat antara keluarga). Lewis dan Ed meyakinkan Bobby dan Drew bahwa mereka tidak apa-2. Tetapi Bobby dan Drew khawatir dan mempunyai firasat buruk. Entah apa.

Di akhir film, salah satu dari empat sekawan tersebut tewas dan yang lainnya bersumpah tidak bercerita tentang pengalaman tersebut kepada siapapun seumur hidup mereka. Nightmare ini sebaiknya dikubur saja -- karena kalau diceritakan, memangnya siapa sih yang mau percaya?

Film arahan John Boorman dengan rating 94% di Rotten Tomatoes ini betul-2 original dan berhasil dengan sangat baik membangkitkan “primal fear” dalam diri kita. Classic.

Hati-2 kalau pergi camping/canoe ke daerah terpencil :-)

2) Frantic (1988)

Lima tahun sebelum memerankan dokter yang kehilangan istrinya akibat pembunuhan, Harrison Ford sudah memerankan dokter yang juga kehilangan istrinya! :-) Tetapi kali ini bukan akibat pembunuhan, tetapi hilang begitu saja. Just vanished, without a trace!

Sambil mengunjungi konferensi kedokteran, suami-istri Dr. & Mrs. Walker siap berbulan madu kedua di kota paling romantis di dunia, Paris. Tiba di Paris pagi hari, masih jet-lagged, mereka langsung check-in ke hotel. Sementara istrinya mulai membongkar bagasi mereka, sang suami pergi mandi. Di saat paling kritis dalam film ini sutradara Roman Polanski dengan sangat pandai menempatkan kamera dari sisi suami yang sedang mandi, dengan suara air mengalir deras memekakkan telinga suami (penonton) -- dia (penonton) sayup-2 mendengar telpon berdering dan istrinya mengucapkan sesuatu. Kemudian kamera bergerak perlahan-2 menuju sudut pintu kamar mandi mengikuti gerakan terakhir istrinya. Sang suami menyelesaikan mandinya, mencukur jenggotnya, memesan makan pagi, membaca koran, dan ... ketiduran. Bangun kesiangan, istrinya ternyata belum kembali juga ke kamar. Kemana gerangan istrinya? Hilang, tanpa jejak.

Tidak bisa lagi bekerja di AS, Polanski menyelesaikan seluruh film ini di Perancis. Dari segi thriller film ini sama sekali tidak kalah dengan The Fugitive (1993). Dari segi akting, Ford sebagai suami yang desperate membongkar teka-teki yang misterius ini, juga tidak kalah dengan aktingnya dalam The Fugitive. Musik dari Ennio Morricone, walaupun beliau berasal dari Itali, terdengar begitu melankolis Perancis-nya, menghantui dari awal sampai akhir film, dengan menyertakan alat musik akordion. Memperoleh rating tinggi dari para film critic, tetapi gagal di box-office AS, satu-2nya kekurangan film ini adalah tidak bersetting di AS dan saat itu (bahkan sampai saat ini) Polanski masih di-“persona non grata” oleh publik AS.

Hati-2 kalau ngambil bagasi :-)

3) The Impossible (2012)

Berdasarkan kisah nyata tentang keluarga Spanyol yang sedang liburan di Thailand ketika tsunami tanggal 26 Desember 2004 menghantam hotel di mana mereka menginap di pantai Khao Lak, Thailand. Film ini tidak hanya menampilkan nasib buruk yang bisa datang sewaktu-2, bagaikan pencuri di malam hari, tetapi juga mukjizat yang bisa terjadi darinya. Musibah seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya, mengapa terjadinya pas ketika mereka berlibur di sana? Mukjizatnya, sementara hampir semua orang kehilangan anggota keluarganya, keluarga ini seluruh anggotanya berhasil lolos dari maut. It's impossible!

Sayang sekali film produksi Spanyol ini cepat-2 memutuskan meng-“inggris”-kan film ini dengan meng-cast Naomi Watts dan Ewan McGregor sebagai keluarga Inggris yang sedang berlibur ke Thailand. Padahal ada banyak aktor dan aktres Spanyol yang mampu memainkan peran ini dengan sangat baik juga. Mungkin karena alasan distribusi -- mungkin takut jangkauan distribusinya tidak seluas kalau filmnya dibuat dalam bahasa Inggris. But anyway, it's an inspiring and uplifting film.

Selama liburan kita hanya bisa berdoa saja moga-2 tidak ada musibah.


Deliverance, Frantic, The Impossible dapat anda temukan di eBay.com

Thursday 5 September 2013

The Cassandra Crossing, Outbreak, Contagion

Triple Outbreaks!


Epidemi atau wabah penyakit sering tidak masuk dalam daftar yang kita paling takutkan terjadi dalam hidup ini. Subconsciously kita menaruh kepercayaan bahwa teknologi kedokteran jaman sekarang mampu menanggulangi segala macam penyakit yang ada. Kenyataannya tidak seperti itu, karena penyakit senantiasa berubah karena virus juga senantiasa berubah/bermutasi. Antara penyakit baru dan ditemukannya obat untuk mengalahkannya ternyata selalu “kejar-2an”.

Coba bayangkan seandainya virus HIV bermutasi menjadi airborne sehingga penularannya menjadi seperti influenza?! Dan obatnya belum ada. Seluruh dunia pasti panik. Dan skenario seperti ini yang sering diangkat masuk ke dalam film.

1) The Cassandra Crossing (1976)

Dibuat pada era film malapetaka, film dengan all-star cast ini -- mulai dari Sophia Loren, Richard Harris, Burt Lancaster, Martin Sheen, Lee Strasberg, Ava Gardner, sampai bintang sepakbola AS saat itu O. J. Simpson -- bersetting di Eropa dan memadukan antara drama, romance, dan malapetaka wabah penyakit.

Dimulai dengan tiga “teroris” (imho, “aktivis”) memasuki instalasi fiktif International Health Organization di Jenewa, Swiss (parodinya WHO???) untuk menghancurkan lab milik AS yang diduga menyimpan berbagai bibit penyakit untuk riset senjata biologis. Dua tertembak, satu lolos, dan lab-nya berantakan ... sudah tahu lab-nya menyimpan banyak bibit penyakit, satpamnya trigger happy nembak kesana, nembak kemari :-) ... hasilnya, satu yang lolos terinfeksi salah satu bibit penyakit yang ada. Dia melarikan diri ke stasiun kereta api dan menyelinap masuk kereta api tujuan Stockholm, Swedia.

Sementara obat untuk mengalahkan bibit penyakit ini belum ditemukan, kereta api ini tidak boleh berhenti di semua stasiun kereta api antara Jenewa dan Stockholm -- tidak ada satu negarapun antara Swiss dan Swedia yang bersedia menerima kereta api ini. Drama kehidupan berlangsung terus di dalam kereta api bernasib buruk ini sementara mereka tidak menyadari akhir yang mengerikan menunggu di Cassandra Crossing.

Superb thriller. Sukses di pasar internasional, tetapi tidak di AS, karena penonton AS tidak suka film yang menggambarkan negaranya sebagai “bad guy” :-)

2) Outbreak (1995)

Sementara wabah penyakit Ebola yang mengerikan merebak di benua Afrika, Hollywood memanfaatkan momentum ini dengan memproduksi Outbreak yang dibintangi oleh Dustin Hoffman, Rene Russo, dan Morgan Freeman. Dalam film ini mulai ditampilkan bagaimana politik di balik penemuan penyakit baru dan pembuatan obatnya. Lagi-2 AS selalu ingin menjadi yang pertama -- dan kalau bisa, satu-2nya -- yang mempunyai obatnya. Tetapi dalam film ini korbannya adalah warga negara AS sendiri (hmmm, seakan-2 wabah penyakit itu tidak bisa loncat ke negara lain? :-)) dan obatnya belum ditemukan.

Dihadapkan pada wabah penyakit yang bakal memusnahkan seluruh negara (koreksi, seluruh dunia), militer terpaksa turun tangan. Dan kita tahu sendiri apa yang bakal terjadi kalau militer ikut turun tangan ... :-)

Sukses di pasar AS, walaupun imho endingnya rada silly.

3) Contagion (2011)

Empat puluh tahun selepas era film malapetaka, filmmakers jaman sekarang tidak takut memasukan elemen scientific yang dapat dipertanggung-jawabkan. Film garapan Steven Soderbergh dengan all-star cast ini -- Marion Cotillard, Matt Damon, Laurence Fishburne, Jude Law, dan Kate Winslet -- tidak hanya sekedar thriller yang menghibur tetapi juga pesan/informasi lingkungan hidup yang penting.

Diilhami oleh flu babi yang beberapa tahun sebelumnya menjadi wabah di seluruh dunia, film ini secara komplit menampilkan semua segi ketika sebuah wabah penyakit muncul: dari segi politik, komersial, dan sosial. Contagion dengan sangat baik menunjukkan tidak ada lagi wabah penyakit yang terbatas hanya di satu negara saja, semua wabah selalu menyebar ke seluruh dunia, karena itu sangat diperlukan kerjasama internasional untuk menyelesaikan masalah bersama ini.

Scene akhir film ini sangat bagus.

Ketika teknologi kedokteran akhirnya berhasil menanggulangi wabah penyakit tersebut, kita semua lega. Tetapi, sadarkah kita bahwa kita sendiri yang sesungguhnya sering menjadi catalyst utama dari wabah penyakit itu?

An excellent film.


The Cassandra Crossing, Outbreak, Contagion dapat anda temukan di eBay.com