Wednesday 25 June 2014

The Misfits

The Misfits ★★★★☆

A Lost Soul: Bagaikan kapal yang berlabuh tanpa jangkar ...

If I'm going to be alone, I want to be by myself.

Tahun Keluar: 1961
Negara Asal: USA
Sutradara: John Huston
Cast: Clark Gable, Marilyn Monroe, Montgomery Clift, Thelma Ritter, Eli Wallach

Dalam release perdananya, film ini memperoleh review yang beragam dari penonton (film critic) -- sebagian besar negatif, mungkin karena produksi film ini diselimuti oleh gosip negatif mulai dari kematian Clark Gable -- dia menderita serangan jantung dua hari setelah shooting selesai dan meninggal dunia sepuluh hari kemudian, konon gara-2 suhu panas (42 derajat Celcius) di setting film ini di Reno, Nevada, dan gara-2 dia melakukan stunt sendiri dalam scene dimana dia diseret sejauh 120 meter dengan kecepatan sekitar 50 km/jam melalui gurun kering dan tandus oleh seekor kuda liar; sampai ke “kekacauan” dalam setting film ini -- Marilyn Monroe keluar-masuk rehab gara-2 kecanduan obat bius, dan revisi berkali-2 dari script film ini sementara perkawinan antara Arthur Miller, si penulis script, dan Monroe mengalami kehancuran (mereka akhirnya bercerai setelah shooting selesai). Namun demikian, dengan berjalannya waktu apresiasi penonton berubah menjadi positif -- penonton mulai menyadari bahwa film ini mungkin adalah cukilan biografi Monroe yang paling akurat dari orang/penulis yang paling memahami dirinya. Memang betul, suami tidak otomatis menjadi orang yang pendapatnya paling obyektif tentang istrinya -- biasanya justru sebaliknya :-), tetapi Miller adalah seorang penulis -- karya-2nya a.l. Death of a Salesman, The Crucible, yang notabene pakar dalam mengamati “the innards” karakter dari seseorang. So, I think, he deserves some credit. Tetapi Miller tidak mengungkapkannya secara blak-2an. Walaupun tokoh utama dalam film ini hanya satu, judul film ini adalah The Misfits, bukan The Misfit. Lima tokoh dalam film ini, masing-2 to a certain degree, adalah “misfit” -- orang yang tidak cocok dengan lingkungan dimana dia berada.

Cerita diawali dengan Roslyn (Monroe) pindah ke Reno, Nevada, untuk mendapatkan perceraian dari suaminya. Dia indekos di rumah Isabelle (Thelma Ritter), juga seorang wanita yang bercerai. Beberapa saat setelah perceraian, Roslyn dan Isabelle merayakan hari “kemerdekaan” tersebut dengan minum di sebuah bar dan di sana mereka bertemu dengan Guido (Eli Wallach), mekanik yang mereparasi mobil Roslyn, dan temannya, Gay (Gable), seorang cowboy berusia setengah baya. Setelah berkenalan mereka berempat sepakat pergi ke luar kota, ke rumah Guido di pedalaman Nevada untuk ... “just live.

Guido: “Have you ever been outside Reno, Ms. Taber?
Roslyn: “Once I walked to the edge of town; doesn't look like there's much out there.
Gay: “Everything's there!
Roslyn: “Like what?
Gay: “The country!
Roslyn: “Well, what do you do with yourself?
Gay: “Just live.
Roslyn: “How does anyone "just live"?
Gay: “Well, you start by going to sleep. You get up when you feel like it. You scratch yourself. You fry yourself some eggs. You see what kind of a day it is; throw stones at a can, whistle.” :-)


Beberapa waktu kemudian Guido dan Gay mengajak Roslyn pergi melihat mereka berburu kuda liar. Di tengah perjalanan mereka merekrut Perce (Montgomery Clift), seorang pemain rodeo, untuk membantu mereka. Kemanapun Roslyn pergi, dimanapun dia berada, dirinya adalah magnet bagi semua pria yang melihatnya. Demikian juga dengan ketiga pria ini: Guido berharap, tetapi dia tidak mampu bersaing dengan Gay yang jauh lebih berkharisma, sedang Perce hanya mampu menarik belas kasihan Roslyn. Dinamika persahabatan, sekaligus persaingan, di antara ketiga pria ini menjadi latar belakang dari emotional conflict/emotional turmoil yang dialami Roslyn dalam menemukan jati dirinya. Cerita diakhiri dengan Gay mengalah secara tulus dan sikapnya ini nampaknya berhasil “menyembuhkan” apapun emotional turmoil yang ada dalam diri Roslyn.

Gay: “What makes you so sad? You're the saddest girl I ever met.
Roslyn: “You're the first man who's ever said that. I'm usually told how happy I am.

Arahan dari John Huston (The Maltese Falson, The Treasure of the Sierra Madre, Key Largo, The African Queen), sangat membantu mengekspresikan realism dalam film ini. Dengan setting flora dan fauna yang gersang dan liar, Gable nampak tua, capek, tetapi langsung bersemangat ketika melihat Monroe :-), Monroe nampak sedih walaupun dia tersenyum, dan Clift nampak vulnerable, rapuh. In fact, kelima tokoh dalam film ini, masing-2 to a certain degree, vulnerable, rapuh. Entah akting, entah scriptnya memang menceritakan situasi yang ada secara betulan, penampilan mereka dalam film ini sangat cocok dengan karakter-2 yang mereka mainkan. Arahan Huston berhasil menghasilkan tiga scene yang memorable, yaitu: 1) Scene Monroe bermain paddle-ball yang hampir saja menimbulkan perkelahian di dalam bar :-), 2) Scene Clift bermain rodeo, dimana dia terpelanting dua kali dari punggung kuda dan punggung banteng yang membuatnya gegar otak, 3) Scene perburuan kuda liar (seandainya film ini dibuat sekarang film ini pasti diboikot karena scene ini menampilkan kekejaman terhadap binatang) yang membuat emosi Monroe meletup:      
 
Roslyn: “Horse killers! Killers! Murderers! You're liars! All of you, liars! You're only happy when you can see something die! Why don't you kill yourself to be happy? You and your God's country! Freedom! I pity you! You're three dear, sweet, dead men!

juga konon akhirnya membunuh Gable.

Wow, what a film!

Could this be a snippet of Monroe's life? Maybe.



The Misfits dapat anda temukan di eBay.com

Thursday 12 June 2014

Grace of Monaco

Grace of Monaco ★★★☆☆

Fairytale yang mengecewakan banyak pihak ...

Tahun Keluar: 2014
Negara Asal: USA, Perancis
Sutradara: Olivier Dahan
Cast: Nicole Kidman, Tim Roth, Frank Langella, Derek Jacobi

Diawali dengan antisipasi positif ketika proyek ini dimulai, karena sang sutradara adalah pengarah film La Vie en rose (2007), biopic dari penyanyi Perancis legendaris, Edith Piaf, yang berhasil mengantar pemeran utamanya, Marion Cotillard, ke piala Oscar untuk Aktres Terbaik, tetapi kemudian dilanjutkan dengan ketidakpastian tanggal release perdana-nya: mula-2 akhir November 2013 (memberi sinyal film ini bakalan masuk kompetisi Oscar), kemudian diundur ke Maret 2014 (memberi sinyal yang kebalikan -- waktu setelah Oscar adalah waktu untuk film-2 jelek dikeluarkan :-) ), kemudian diundur lagi ke waktu yang tidak ditentukan, kemudian tiba-2 membuka Festival Film Cannes 2014 pada bulan Mei 2014 tanpa mengikuti kompetisinya; Grace of Monaco diakhiri dengan antisipasi negatif dari para penonton (film critic).

Cerita dalam film ini berkisar di beberapa bulan saja pada tahun 1962. Saat itu Grace Kelly (Nicole Kidman) adalah ibu dari dua anak, istri dari Pangeran Rainer dari Monaco (Tim Roth), dan nampak tidak bahagia dengan perannya sebagai puteri Monaco. Alfred Hitchcock (Roger Ashton-Griffiths)  datang berkunjung ke istana menawari aktres favoritnya ini tampil dalam film terbarunya, Marnie. Di sisi istana yang lain, Pangeran Rainer disibukkan dengan masalah politik dengan negara tetangga terdekatnya, Perancis, gara-2 ada banyak perusahaan dan warga negara kaya Perancis yang pindah ke Monaco karena di negara ini tidak ada pajak pendapatan, dan Presiden Perancis saat itu, Charles de Gaulle, menuntut Monaco membayar pajak (maksudnya, ganti rugi) senilai pajak yang semestinya jatuh ke kas negara Perancis tersebut. Grace ingin sekali menerima tawaran Hitchcock tersebut, tetapi keinginannya ini menemui perlawanan sengit dari pihak istana. Sementara itu pertikaian antara Monaco dan Perancis semakin memuncak dengan Monaco bersiteguh tidak mau didikte dan Perancis mulai meluncurkan ultimatum: mula-2 dengan memblokir jalan keluar-masuk antara Monaco dan Perancis, kemudian dengan mengancam akan menyerbu Monaco! :-) Di antara konflik tersebut, Grace berkonsultasi dengan dua orang kepercayaannya: Father Francis Tucker (Frank Langella), seorang imam juga salah satu dari penasehat istana, dan Count Fernando D'Ailieres (Derek Jacobi), mentor pribadinya. Film berakhir dengan Grace menolak tawaran Hitchcock tersebut dan mengadakan charity ball untuk Palang Merah dimana dia mengundang kepala negara-2 dunia, termasuk John F. Kennedy (diwakili oleh Robert McNamara, Menteri Pertahanan) dan de Gaulle sendiri. Setelah Grace mengucapkan pidatonya: “I believe in fairytales ... ”, McNamara berbisik ke de Gaulle: “You're not really gonna drop a bomb on Princess Grace, are you, Charles? ” Tentu saja tidak. Perancis tidak pernah menyerbu Monaco, apalagi menjatuhkan bom di atas Grace Kelly :-)

Tanpa mengetahui sejarah sesungguhnya, peran Grace dan konflik yang ada dalam film ini terasa unconvincing atau tidak meyakinkan, alias (terlalu) didramatisir atau dilebih-2kan -- Monaco bukanlah kerajaan besar seperti Inggris yang posisi dan politiknya diperhitungkan. Scriptnya terasa memaksakan peran tersebut dalam resolusi terhadap konflik yang sesungguhnya tidak seberapa; ditandai dengan dialog-2 yang canggung -- dan yang paling canggung (“I believe in fairytales ... ”) justru terletak di bagian yang paling penting. Beberapa saat setelah film ini tampil di Cannes, pihak Monaco membantah keakuratan peran Grace tersebut dan pihak Perancis membantah keakuratan konflik  yang ada. Untuk penulis, tanpa masuk dalam perdebatan seberapa akurat atau tidak akurat dua point di atas, tema fairytale dengan pesan: “the greatest role Grace Kelly would ever play” seperti yang tercantum dalam poster film ini terasa meleset mengenai sasarannya.

In my humble opinion, cerita fairytale Grace Kelly justru terletak ketika dia berada di Hollywood dan diakhiri dengan perkawinannya dengan Pangeran Rainer. That's a fairytale! Setelah perkawinan, sudah bukan fairytale lagi, malah sebaliknya :-) Inilah salah kaprah ekspektasi yang universal menjangkiti kita semua.

Premise cerita yang menjanjikan, tetapi penyampaiannya tidak meyakinkan.



Grace of Monaco dapat anda temukan di eBay.com

Monday 9 June 2014

The Third Man

The Third Man ★★★★★

Expressionism ...

Di antara reruntuhan kota Wina setelah PD2: karakter kelabu, bayang-2, sudut-2 gambar yang miring

Tahun Keluar: 1949
Negara Asal: Inggris
Sutradara: Carol Reed
Cast: Joseph Cotten, Alida Valli, Orson Welles, Trevor Howard, Bernard Lee

Harry Lime: “Don't be so gloomy. After all it's not that awful. Like the fella says, in Italy for 30 years under the Borgias they had warfare, terror, murder, and bloodshed, but they produced Michelangelo, Leonardo da Vinci, and the Renaissance. In Switzerland they had brotherly love - they had 500 years of democracy and peace, and what did that produce? The cuckoo clock.” :-)

Film noir terbaik dan paling terkenal, The Third Man adalah karya sinematik yang dengan mudah meraih pengakuan internasional sebagai karya masterpiece dan klasik. Semua elemen dalam film ini seakan-2 datang pada saat yang sama seperti sebuah “happy accident” :-) Mulai dari musik sitar yang menggelitik petikan Anton Karas sampai dengan sinematografi hitam-putih kontras tajam yang membuat penonton kehilangan orientasi garapan Robert Krasker,  dan belum mempertimbangkan script, akting, dan pengarahannya, film ini adalah Tour de Force dari sinema Inggris. Tetapi mungkin yang paling mendefinisikan film ini adalah setting lokasinya (dan waktunya):  kota Wina, Austria, tahun 1948. Seluruhnya di-shot di antara reruntuhan kota Wina, kota yang saat itu hancur berantakan akibat Perang Dunia ke 2 -- baik secara fisik (kotanya) maupun mental (penduduknya), setiap orang di kota ini mempunyai karakter kelabu atau moralitas yang dipertanyakan, membuat situasi ini setting yang sempurna untuk film noir.

Penulis fiksi Holly Martins (Joseph Cotten) tiba di Wina atas undangan teman karibnya, Harry Lime (Orson Welles), tetapi menemukan Lime masuk liang kubur gara-2 tewas tertabrak mobil beberapa hari sebelumnya. Bertemu dengan dua teman Lime, “Baron” Kurtz (Ernst Deutsch) dan Popescu (Siegfried Breuer), dia mulai bertanya-2 tentang kecelakaan yang merenggut nyawa temannya. Tetapi penjelasan mereka ternyata berbeda dengan informasi yang dia peroleh dari pihak lain. Kekasih Lime, Anna Schmidt (Alida Valli), sama tidak tahunya seperti dia, tetapi tidak ingin berbicara banyak tentang mendiang kekasihnya. Sampai akhirnya Martins menyadari bahwa dua polisi militer Inggris, Major Calloway (Trevor Howard) dan Sergeant Paine (Bernard Lee), juga tertarik dengan kasus Lime. Dari mereka dia memperoleh informasi bahwa Lime terlibat dalam pencurian antibiotika (penicillin) dan selanjutnya perdagangan gelap antibiotika palsu (cairannya diencerkan agar volumenya menjadi banyak). Saat itu antibiotika adalah produk yang masih baru, langka, dan sangat diperlukan. Korban antibiotika palsu tersebut selain orang dewasa, terbanyak adalah anak-2.

Benarkah Lime tewas gara-2 tertabrak mobil?
Kalau tidak, dimana dia? Siapa yang dikubur tempo hari?
Bagaimana Martins harus bersikap terhadap teman karibnya tersebut?

Optimisme naif Martins yang notabene orang Amerika justru menekankan pesimisme dan fatalisme orang-2 Eropa yang dia temui, menyuarakan mood yang bertolak-belakang antara dua sisi dari lautan Atlantik pada waktu film ini dikeluarkan. Kamera arahan Carol Reed dengan sangat mengesankan menangkap karakter schizophrenic kota Wina: kelihatan menarik dan romantis di siang hari, tetapi berubah menjadi kelam dan mengancam di malam hari. Sangat jarang dalam sinema lokasi sedemikian terintergrasinya masuk ke dalam filmnya. Penggunaan cahaya dan bayang-2 yang cerdas, dengan sudut-2 pengambilan gambar yang miring, menciptakan ilusi dunia mafia yang gelap, seperti dalam mimpi buruk yang kabur.

The Third Man mempunyai banyak scene yang memorable, tetapi tiga yang paling memorable adalah: 1) entrance iconic untuk Orson Welles sebagai Harry Lime, yang baru terjadi hampir di tengah film (diawali dengan seekor kucing mengendus kaki majikannya), 2) Roda bergerak Ferris, dimana Welles “mengkuliahi” Cotten tentang Swiss dan jam cuckoo-nya :-), dan 3) kejar-2an antara Welles dan polisi militer seantero Wina di saluran pembuangan limbah di bawah kota tersebut.

Klasik.



The Third Man dapat anda temukan di eBay.com