Saturday 30 August 2014

A Most Wanted Man

A Most Wanted Man ★★★★☆

Kontemporer, politik, intrik, persaingan ...

Tahun Keluar: 2014
Negara Asal: Inggris, USA, Jerman
Sutradara: Anton Corbijn
Cast: Philip Seymour Hoffman, Rachel McAdams, Willem Dafoe, Robin Wright, Grigoriy Dobrygin

Penggemar cerita-2 thriller espionase, khususnya karya penulis John le Carré -- novel-2nya yang lain yang sudah difilmkan a.l. The Tailor of Panama (2001), The Constant Gardener (2005), atau yang diproduksi akhir-2 ini Tinker Tailor Soldier Spy (2011), tidak akan kecewa menyaksikan adaptasi terbaru ini.

Bersetting di kota Hamburg, Jerman, pasca 9/11, ketika intelijen Jerman berada di bawah tekanan berat intelijen AS yang sedang gencar-2nya memerangi terorisme, karya le Carré kali ini bercerita tentang persaingan di kalangan intelijen untuk  melacak lead informasi/trail menuju sasaran yang mereka cari. Ketika Issa Karpov (Grigoriy Dobrygin), pengungsi Chechen yang menurut intelijen Rusia adalah teroris yang berbahaya, tiba-2 muncul di Hamburg, Günther Bachmann (Philip Seymour Hoffman), agen operatif Jerman, segera memata-2i gerak-gerik pemuda ini. Keluarga yang memberi tumpangan Karpov kemudian menghubungi Annabel Richter (Rachel McAdams), pengacara dengan spesialisasi kasus-2 pelanggaran HAM, untuk membantunya mendapatkan suaka di Jerman. Ketika Karpov minta tolong Richter untuk mengkontak Tommy Brue (Willem Dafoe), seorang banker, karena dia membawa surat peninggalan mendiang ayahnya untuk banker tersebut, Bachmann menjadi curiga dan memutuskan mengompas Brue untuk mengetahui urusan apa yang sedang terjadi antara Karpov dan dirinya. Dari sini Bachmann mengetahui bahwa Karpov mewarisi uang sejumlah 10 juta Euro, tetapi Karpov ternyata tidak tertarik memiliki uang tersebut. Sementara itu Bachmann juga sedang memata-2i seorang philanthropist, Dr. Faisal Abdullah (Homayoun Ershadi), yang dicurigai menggunakan organisasi amalnya untuk menyalurkan sebagian dananya ke sebuah perusahaan transportasi yang sesungguhnya adalah organisasi milik Al Qaeda. Bachmann kemudian “put two and two together and came up with an idea”: mengompas Richter untuk membujuk Karpov untuk menyumbangkan uang warisan tersebut kepada Dr. Abdullah; dan melihat apakah betul kecurigaannya selama ini bahwa sebagian dananya akan disalurkan ke perusahaan transportasi yang sudah dititik tersebut. Richter bersedia menjadi kaki-tangan Bachmann dengan syarat Karpov memperoleh suaka di Jerman. Bachmann setuju dan menepati janjinya: beberapa hari sebelum Karpov bertemu dengan Dr. Abdullah, Karpov memperoleh suaka di Jerman. Sementara Bachmann menjalankan rencananya, bosnya di Berlin dan bos intelijen AS di Jerman, Martha Sullivan (Robin Wright), mengawasi terus operasi tersebut dan siap terjun mengintervensi tanpa mempedulikan integritas kerja dan perasaan Bachmann.


Le Carré , yang memang pernah bekerja sebagai agen operatif MI5 dan MI6, lagi-2 menampilkan realisme dalam thriller espionase yang kontemporer ini. Memang menarik menonton  film-2 action espionase seperti James Bond atau Jason Bourne; tetapi karakter-2 tersebut melenceng jauh dari realitas. Le Carré tanpa ragu-2 menampilkan dunia intelijen tanpa “bumbu penyedap” tersebut: karakter-2nya lebih senang bersembunyi di balik layar, lebih senang bekerja di balik meja atau di depan layar komputer menganalisis informasi, atau sebisa mungkin menghindari konfrontasi fisik -- apalagi mempertaruhkan nyawa sampai tewas :-) Namun demikian, ceritanya tetap menghasilkan suspense. Ceritanya berlapis, melibatkan banyak karakter dengan masing-2 karakter terbentuk dengan baik, melibatkan sejumlah subplot dengan masing-2 subplot tersusun dengan baik, dan semuanya terjalin dengan rapi menuju ending yang memuncak.

Hoffman tampil menjiwai, as he always does, sebagai Bachmann. Di sini dia tidak hanya akting dengan wajahnya saja, tetapi juga dengan seluruh tubuhnya; fisiknya yang nampak tidak prima (dia terkesan kegemukan dan capek) justru menambah bobot karakterisasinya. Cast pendukung yang lain juga tampil dengan baik: McAdams yang biasanya tampil manis dan ceria dalam peran-2 ringan dalam film-2 romcom, di sini tampil matang dan serius; Dafoe yang biasanya tampil kuat dalam peran-2 berat sebagai protaganist atau antagonist, di sini tampil lemah tidak berkutik; dan Wright nampak semakin menemukan tempatnya dan di sini tampil comfortable sebagai bos yang otoriter dan dingin. Aktor Rusia, pendatang baru, Dobrygin tampil meyakinkan sebagai pengungsi Chechen -- aktingnya yang subdued, low-keyed berhasil menarik simpati penonton dari awal sampai akhir. Juga tidak dapat dilupakan cast pendukung dari Jerman; mereka juga tampil dengan baik -- nama-2 yang tenar di negaranya, tetapi tidak di pentas internasional, kecuali mungkin Nina Hoss yang mungkin anda ingat dari The White Massai (2005), atau Daniel Brühl yang mungkin anda kenal sebagai Niki Lauda dalam Rush (2013).

All in all, A Most Wanted Man adalah film kecil yang cemerlang penggarapannya, khususnya dari sudut akting dan script. Film yang sama sekali tidak mengecewakan sebagai film terakhir dari Hoffman.

Farewell Philip Seymour Hoffman.
You will surely be missed.



A Most Wanted Man dapat anda temukan di eBay.com

Saturday 16 August 2014

My Fair Lady

My Fair Lady ★★★★★

Social Mobility:
Mencapai cita-2 yang anda tidak tahu anda mampu meraihnya ...


Bravo, Eliza!

~ Sambungan review dari Pygmalion (1938)

Tahun Keluar: 1964
Negara Asal: USA
Sutradara: George Cukor
Cast: Audrey Hepburn, Rex Harrison, Stanley Holloway, Wilfrid Hyde-White, Gladys Cooper, Jeremy Brett, Theodore Bikel

Jaman sudah berubah. Kerajaan dengan otoritas mutlak hampir semuanya sudah punah. Republik dengan demokrasinya menggantikan sistem kuno tersebut untuk memastikan distribusi kesempatan ekonomi untuk seluruh rakyat. Namun demikian, cita-2 luhur Social Mobility yang diimpikan tersebut masih sering menjadi ilusi saja.

Seandainya aku lahir di keluarga mampu, aku akan bisa sekolah sampai universitas dan menjadi pakar yang hebat ...

Seandainya aku punya kesempatan belajar main piano, aku akan bisa menjadi pianis yang hebat ...

Miris membayangkan ada berapa banyak bakat terpendam yang hangus begitu saja gara-2 tidak ada kesempatan untuk mengembangkannya. Mungkin inilah alasannya mengapa cerita drama, kritik sosial, karya George Bernard Shaw ini masih terus langgeng, relevan sampai saat ini, dan mampu menarik minat penonton baru: “Seandainya aku punya kesempatan ini, aku akan bisa begini,” “seandainya aku punya kesempatan itu, aku akan bisa begitu,” et cetera, dan lain sebagainya. Mencapai cita-2 yang anda tidak tahu anda mampu meraihnya.

Versatilitas karya Shaw ini tidak dapat dipungkiri karena tulisan Shaw sendiri yang sangat baik; sedemikian baiknya sehingga segala macam adaptasi yang dihasilkan selanjutnya: musical, film, atau film musical, semuanya tidak dapat meninggalkan dialog-2 aslinya. Maka tidak mengherankan kalau hanya Shaw saja (atau Shaw dan timnya) yang pernah memenangkan penghargaan script terbaik untuk cerita ini; penulis-2 lain yang mengadaptasi cerita ini tidak pernah memenangkan penghargaan script adaptasi terbaik -- karena mereka tinggal menjiplak saja dialog-2 yang sudah ada.

Adaptasi dari musical (teater musical) ke film musical selalu menempatkan sutradara pada dua pilihan: 1) membuat filmnya seperti teater musical dengan menempatkan kamera-2 di sekitarnya -- misalnya, West Side Story (1961), atau yang diproduksi akhir-2 ini Les Misérables (2012); dimana semua dialognya adalah libretto, atau 2) membuat filmnya seperti film biasa dengan memasukkan musik di dalamnya. Pilihan pertama sesungguhnya tidak masuk akal. Mengapa? Karena tujuan utama mengadaptasi musical ke film musical adalah untuk menarik minat penonton film -- yang mayoritas tidak menyukai musical, untuk melihat versi filmnya. Tetapi kalau filmnya terlalu mirip dengan musicalnya -- dengan libretto segala (that goddamn libretto! :-) ), terus untuk apa mengadaptasinya ke film? Penonton film tetap tidak akan menyukainya. Sebaliknya, penonton teater tidak akan tertarik melihat film tersebut karena mereka sudah menyukai musicalnya. Mungkin karena inilah film-2 musical seperti West Side Story atau Les Misérables, walaupun menerima pujian dari kritikus-2 film ternama (sebagian besar dari mereka adalah penggemar musical), tidak pernah betul-2 menjadi favorit di kalangan penggemar film. Pilihan kedua adalah pilihan yang lebih masuk akal, tetapi memerlukan kinerja yang lebih tactful, considerate, atau pengertian.

Sutradara George Cukor -- karya-2nya yang lain a.l. Holiday (1938), The Women (1939), The Philadelphia Story (1940), Gaslight (1944), Adam's Rib (1949) -- berhasil memadukan dialog-2 dari karya aslinya dan musik & lirik dari Frederick Loewe dan Alan Jay Lerner dengan porsi yang seimbang dan timing yang pas; sedemikian rupa sehingga penonton tidak dapat memutuskan apakah mereka lebih senang melihat para pemainnya berbicara atau menyanyi. Dalam film ini, bagian-2 yang cocok disampaikan melalui dialog, disampaikan melalui dialog; bagian-2 yang cocok disampaikan melalui musik, disampaikan melalui musik. Musik & lirik dari Loewe dan Lerner berhasil mengimbangi dialog-2 tajam (serius sekaligus lucu dan menggelitik) dari Shaw: musiknya indah dan memorable, liriknya menarik -- sebagian romantis, sebagian kocak, sebagian tidak masuk akal, dan sebagian filosofis. Penilain penulis, hanya mereka yang betul-2 buta musik saja yang tidak menyukai film musical ini. Pendekatan Cukor ini kemudian diadopsi oleh Robert Wise, yang sebelumnya menggarap West Side Story, untuk The Sound of Music yang keluar tahun berikutnya yang juga meraih sukses gemilang.

Selain berhasil melestarikan dialog-2 dalam karya aslinya, Cukor juga berhasil melindungi inti ceritanya dari “serangan” Hollywood untuk meromantisir hubungan antara protagonist wanitanya, Eliza Doolittle, dan antagonis prianya, Professor Higgins. Studio Warner Bros. tidak dapat disangkal ingin “menggaris-bawahi” potensi romance antara kedua pemeran utama ini. Beruntung sekali Cukor berhasil menyenangkan kedua-belah pihak: membuat penonton terbuai dengan potensi romance yang tersirat, tetapi tetap menjaga akhir cerita yang terbuka:

Professor Higgins: “Eliza? Where the devil are my slippers?

Sebelum penonton mengetahui reaksi Eliza -- melempar lagi sandal tersebut ke Professor Higgins atau tidak, Cukor cepat-2 menggelapkan filmnya ... Fade Out, The End, tamat, meninggalkan penonton penasaran dan bertanya-2: Siapa yang akhirnya mengalah? Bagaimana nasib Eliza selanjutnya?

Satu berita paling terkenal dari produksi film ini adalah perseteruan sengit antara Jack Warner, pemilik studio Warner Bros., dan anggota cast musical terhadap pilihannya atas Audrey Hepburn daripada Julie Andrews yang saat itu sudah memerankan Eliza dalam teater musical-nya. Tidak mempedulikan protes tersebut, Warner memilih Hepburn karena dia mempunyai daya tarik box office yang lebih besar -- dan seandainya dia menolak, Warner konon siap menawarkan peran ini ke Elizabeth Taylor. Mengetahui kehadirannya tidak diinginkan (baca: kemampuan vocalnya diragukan), Hepburn mengajukan syarat kepada Warner bahwa dia hanya akan menerima peran ini kalau dia diperbolehkan menyanyi sendiri. Warner menerima syarat tersebut. Di akhir produksi, tanpa sepengetahuan Hepburn, Warner memanggil Marni Nixon, penyanyi soprano yang sering men-dub suara aktres-2 dalam film-2 musical -- a.l. suara Deborah Kerr dalam The King and I (1956), suara Natalie Wood dalam West Side Story (1961), dan mengganti praktis semua suara Hepburn dalam nyanyian dengan suara Nixon. Ketika Hepburn akhirnya mengetahui hal ini, Hepburn kecewa berat, tetapi tidak bisa apa-2.

Perasaan animosity terhadap Hepburn dari anggota cast musical (sebagian besar dari mereka adalah anggota AMPAS) ternyata terbawa sampai ke Academy Awards. My Fair Lady menerima 12 nominasi Oscar, memenangkan 8 Oscar, dan semua peran aktingnya menerima nominasi Oscar, kecuali Hepburn! Rex Harrison memenangkan Aktor Terbaik. Stanley Holloway menerima nominasi Aktor Pendukung Terbaik. Gladys Cooper menerima nominasi Aktres Pendukung Terbaik (padahal dia bukan anggota cast musical). Hepburn ... NOL! Dia terkena “single out”, diskriminasi, seakan-2 ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak termasuk dalam anggota cast film ini. Deborah Kerr tidak mengalami diskriminasi dalam The King and I, suaranya  juga di-dub, dan dia bukan anggota cast musical. Natalie Wood juga tidak mengalami diskriminasi dalam West Side Story, suaranya juga di-dub, dan dia juga bukan anggota cast musical. Mengapa hanya Hepburn yang terkena “single out”? Menilai secara fair, walaupun Hepburn tidak menyanyi sendiri, dia tetap berakting sendiri ... :-) Seperti disebutkan di atas, My Fair Lady mempunyai bagian akting & dialog dan bagian musik & lirik dengan porsi yang seimbang. Hepburn tidak dapat disangkal melakukan banyak akting. Sebagai contoh, scene ketika Eliza meledak terhadap professor Higgins sekembali mereka dari Embassy Ball:

Eliza Doolittle: “I sold flowers. I didn't sell myself. Now you've made a lady of me, I'm not fit to sell anything else.

Dialog dari Shaw ini tidak main-2 -- untuk mengucapkannya dengan meyakinkan memerlukan penjiwaan yang tinggi. Atau, scene ketika Eliza kembali ke  jalanan dimana dia dulu berjualan bunga dan kecewa menemukan teman-2nya tidak mengenali dirinya lagi. Hepburn juga perlu menguasai transisi dari aksen Cockney (rakyat jelata) ke aksen Queen (aristokrat); dan Hepburn melakukannya dengan tanpa cela, passionate, dan percaya diri. Tidak cukup menerima diskriminasi tersebut, Hepburn harus menerima tamparan terakhir dari Academy Awards dengan Julie Andrews menerima Aktres Terbaik untuk Mary Poppins (1964), seakan-2 ingin menunjukkan bahwa Andrews-lah yang berhak memerankan Eliza dalam film ini. Dan Hepburn harus tetap tersenyum sepanjang acara Oscar tersebut :-) Betapa ironisnya, film Hepburn yang paling dikenang oleh penonton adalah film yang paling mendatangkan kenangan buruk untuk dirinya.

Di akhir hari, when the dust settles, setelah semuanya reda, pertanyaan terhadap keputusan Warner tersebut tetap tertinggal: Apakah keputusannya memilih Hepburn tersebut tepat? Dengan segala diskriminasi yang dialami Hepburn, sumbutkah hasilnya? Is it worth it? Jawabannya, YA ... dengan huruf besar! Dua scene, khususnya, yang membuat segala animosity tersebut sumbut hasilnya adalah:

1) Scene pacuan kuda; betul-2 scene yang fresh/original dan menyegarkan setelah penonton capek menyaksikan scene-2  latihan berbicara yang menjenuhkan. Admiration, surprise, suspense, dan comedy ... semuanya bertemu menjadi satu. Dan siapa yang tidak ingat gaun yang membalut rapat Eliza dan suspense menuju akhir pacuan kuda ketika Eliza akhirnya tidak mampu menyembunyikan karakter aslinya dan meledak menjadi comedy yang mengejutkan:

Eliza Doolittle: “Come on, Dover! Come on, Dover! Move your bloomin' arse!

Lagi-2, dialog ini tidak main-2 -- untuk mengucapkannya memerlukan penjiwaan yang tinggi. Tidak berhenti sampai di sini saja, Eliza tampil lebih mengejutkan lagi dalam:

2) Scene Embassy Ball; ketika Eliza dengan gaun pestanya turun dari tangga ... wow, tidak hanya memukau, tetapi sekaligus mengharukan. Vocal Hepburn tiba-2 berubah menjadi husky (seperti orang yang kehabisan suara) dan raut wajahnya berubah menjadi sendu/melankolis. Ketika Professor Higgins beranjak pergi meninggalkan ruangan sementara Eliza berdiri dengan tenang menunggunya di belakang dan Higgins kemudian menyadari kesalahan tersebut dan langsung berbalik menjemput Eliza ... ha, 1 - 0 untuk Eliza! :-)

Tidak mengherankan produser Jack Warner mati-2an menginginkan Hepburn memainkan peran Eliza.

Disamping kehebatan dialog dan musik, My Fair Lady adalah kehebatan visual. Cukor tidak menyia-nyiakan desain produksi dan desain kostum garapan fotografer Cecil Beaton. Bersama dengan ciematographer Harry Stradling, Cukor juga berhasil memasukkan kekayaan dan detil visual ke dalam filmnya, mulai dari stylization scene pacuan kuda sampai ke segala pernik peralatan aneh yang ada dalam ruang laboratorium Professor Higgins :-)

Pujian khusus perlu diberikan kepada Cecil Beaton: desain kostumnya dengan tepat menggambarkan desain gaun dari jamannya; yang saat itu desainnya mirip seperti yang dikatakan Coco Chanel -- seperti korden atau dekorasi kue tart :-) Menarik melihat perbedaan antara gaun yang dikenakan Eliza dalam scene pacuan kuda, yang notabene pilihan Colonel Pickering -- dia memilih desain Inggris, dan gaun yang dikenakan Eliza dalam scene Embassy Ball, yang notabene pilihan Professor Higgins -- dia memilih desain Perancis. Gaun yang dikenakan Eliza dalam scene Embassy Ball ini ternyata mirip seperti desain Coco Chanel: simple yet elegant. Dengan kata lain, modern. Dengan gaun modern ini (bahkan sampai saat ini!) Hepburn tampil stand-out di antara wanita-2 lain yang mengenakan gaun dari  jamannya. Yes, long live Coco Chanel :-)

All in all, My Fair Lady adalah film dengan dialog yang tajam, musik yang indah, dan visual yang menakjubkan. Betul-2 komplit.

Professor Higgins: “MOTHER! MOTHER!
Mrs. Higgins: “What is it, Henry? What's happened?
Professor Higgins: “She's gone.
Mrs. Higgins: “Well, of course, dear, what did you expect?
Professor Higgins: “What ... what am I to do?
Mrs. Higgins: “Do without, I suppose.
Professor Higgins: “And so I shall! If the Higgins oxygen burns up her little lungs, let her seek some stuffiness that suits her. She's an owl sickened by a few days of my sunshine. Very well, let her go, I can do without her. I can do without anyone. I have my own soul! My own spark of divine fire!
Mrs. Higgins: “Bravo, Eliza!

2 - 0 untuk Eliza! :-)

Klasik.



My Fair Lady dapat anda temukan di eBay.com